Jika mendegar kasus perkosaan, kebanyakan dari kita akan terbayang pelaku adalah laki-laki heteroseksual dan korbannya identik dengan perempuan, cisgender dan heteroseksual. Asumsi dominan ini terlembagakan dalam pasal 285 KUHP tentang Perkosaan:
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Dari pasal tersebut, kita melihat bagaimana wacana perkosaan masih terpusat pada nilai heteronormativitas. Lalu, bagaimana dengan teman-teman LGBTQ yang mengalami perkosaan? Misalnya, seorang transgender, bagaimana kita melihat dan mengategorikan kasus tersebut dalam kacamata hukum? Persoalan ini menjadi kegagapan kita dalam merespon kasus kekerasan seksual di luar heteronormativitas.
Sebelum tergesa berbicara soal penanganan kekerasan seksual, kita perlu menilik kompleksitas pengalaman teman-teman LGBTQ yang kerap menjadi subyek rutin risakan publik. Dikatakan sebagai ‘aib’, ‘pendosa’, ‘nakal’, ‘tidak bermoral’, dan rupa cemohan lain. Gempuran stigma ini membuat mereka rentan akan berbagai kekerasan, tak terkecuali kekerasan seksual. Hasil riset kebijakan tentang kelompok orientasi seksual minoritas oleh Komnas Perempuan (2019) menemukan 12 kasus kekerasan seksual yang dialami transgender, biseksual dan lesbian. Sayangnya, jumlah tersebut hanya segelintir kasus yang berhasil mengemuka di permukaan gunung es.
Ketika mengalami kekerasan seksual, mereka juga rentan akan viktimisasi ganda. Anggapan transgender, gay, lesbian sebagai suatu ‘dosa’ mendatangkan penghakiman dari masyarakat bahwa mereka layak menerima kekerasan seksual. Kuatnya stigma melahirkan berbagai perlakuan tidak menyenangkan dalam mencari keadilan dan kepulihan. Seperti pelaporan di ranah hukum menjadi kelanjutan dari pelecehan dan penghinaan terhadap teman-teman LGBTQ. Lembaga-lembaga yang selama ini didaulat untuk menangani kasus kekerasan pun belum dibekali wawasan keragaman gender dan seksualitas, sehingga dirasa belum ramah dan belum dapat mengakomodir kebutuhan spesifik.
Saking mengurat akarnya, stigma ini turut diamini oleh teman-teman LGBTQ. Hal ini membuat mereka cenderung menormalisasi ketidakadilan yang diterima dan menilai ketidakadilan tersebut sebagai hukuman dari Tuhan. Situasi lain seperti rutinnya perjumpaan dengan kekerasan membuat mereka kebal dan tidak sadar dirinya mengalami kekerasan. Belitan stigma ini menyandera mereka dalam ruang-ruang kedap. Lantas, bagaimana teman-teman LGBTQ dapat mendaki ke puncak gunung es?
Angin segar mulai dirasakan teman-teman LGBTQ dari lahirnya UU TPKS (Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual). Narasi pasal tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) tidak lagi membenturkan satu gender dengan gender lainnya, memberikan nilai inklusivitas untuk kelompok LGBTQ. Contoh, Pasal 6 tentang Pelecehan Seksual Fisik:
“Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya”.
Penggunaan kata “setiap orang” memberikan payung hukum bagi teman-teman LGBTQ. Kita bisa melihat konsistensi tersebut di pasal-pasal TPKS lainnya. Sayangnya, rujukan definisi untuk perkosaan masih menginduk pasal 285 RKUHP, meskipun hukum acaranya sudah mengikuti ketentuan UU TPKS. Konsekuensinya, kita masih belum dapat menjaring kasus perkosaan di luar skema heteroseksual.
Hal lain yang patut kita rayakan adalah keberadaan Pasal 85 terkait partisipasi masyarakat. Kita memiliki peluang untuk menjembatani hambatan kultural seperti stigma dan diskriminasi yang selama ini membatasi agensi teman-teman LGBTQ. Pada poin pembudayaan literasi TPKS, perlu juga dipertimbangkan untuk memasukkan literasi keragaman gender dan seksualitas sehingga peminggiran dan diskriminasi tidak lagi berulang. Dengan begitu, penjaringan kasus kekerasan seksual yang belum mengemuka maupun penyelenggaraan pemulihan korban menjadi lebih terjangkau untuk diwujudkan bersama.
Selain partisipasi masyarakat, UU TPKS juga mengatur partisipasi keluarga dalam Pasal 86. Satu sisi, penekanan peran keluarga dalam mencegah dan menciptakan ruang aman bagi korban patut diapresiasi. Namun, beberapa poin dalam Pasal 86 perlu didekati dengan kearifan, seperti edukasi keluarga pada aspek moralitas dan agama serta menjaga keluarga dari pengaruh negatif dan pergaulan bebas. Sebagaimana stigma yang melekat pada kelompok LGBTQ berotasi pada wacana moralitas agama, dua poin tersebut dapat membuat kita tergelincir dalam mewujudkan penanganan kekerasan seksual yang inklusif. Untuk itu, pendekatan dari tokoh agama dan tokoh masyarakat yang melek akan isu keragaman gender dan seksualitas turut menyukseskan partisipasi keluarga.
Guna menghindari kemacetan di tahap implementasi, perlu adanya peraturan turunan yang secara konkret mengatur penyelenggaraan partisipasi masyarakat dan keluarga. Hal ini meliputi beragam prinsip dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, mekanisme dukungan dan pemantauan, aktor yang terlibat (termasuk peran dan tanggung jawab dari masing-masing sektor) dan siapa yang akan bertindak sebagai leading sector. Tentunya, dalam merumuskan peraturan turunan, semangat inklusivitas harus menjadi napas sehingga UU TPKS dapat menjadi rumah yang sejuk dan aman, dimana teman-teman LGBTQ dapat berlindap di dalamnya.