“Di daerah saya, ada kode khusus, nama gaul, Uwa-uwa. Kalau sudah bilang begitu, pasti tahu yang dimaksud itu Sabu.”
Kalimat itu terucap lancar dan terdengar jenaka dari salah seorang peserta Lecture Series Pusat Penelitian HIV AIDS UNIKA Atma Jaya (PPH UAJ). Bukan tanpa sebab ia berucap, pasalnya sesaat sebelum itu, Prof. Irwanto menantang para hadirin yang memenuhi ruangan R.1408, Gedung Yustinus, Kampus Semanggi UNIKA Atma Jaya untuk menjawab pertanyaannya tentang “nama gaul” Sabu. Sebagai imbalan, penjawab tercepat mendapatkan sebuah buku hasil penelitian dengan tema serupa judul Lecture Series yang diberikan. Merunut kembali waktu sebelum tantangan pertanyaan dari Prof. Irwanto tercetus, di ruangan itu memang tengah berlangsung Lecture Series bertajuk “Dampak Penggunaan Napza Pada Kondisi Kesehatan Sistemik” (6/2). Peserta yang datang pun beragam, mulai dari para mitra PPH UAJ dalam pelaksanaan penelitian -termasuk BNN- , teman-teman LSM yang bergerak di isu narkotika dan HIV, mahasiswa UNIKA Atma Jaya, hingga masyarakat umum yang memiliki minat terhadap topik yang tengah diperbincangkan.
Diampu oleh Prof. Irwanto Ph.D dan Ignatius Praptoraharjo Ph.D serta dipandu oleh Dr. Octavery Kamil, Lecture Series ini bertujuan untuk memberikan pemaparan hasil dari dua penelitian teranyar yang baru saja dirampungkan oleh PPH UAJ. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh tim UNIKA Atma Jaya dan PPH UAJ bekerja sama dengan BNN mengenai dampak penggunaan napza pada kondisi kesehatan sistemik. Kedua, adalah penelitian PPH UAJ mengenai perilaku penggunaan Sabu di 6 Kota di Indonesia. Pada kedua penelitian ini, narkotika jenis Sabu seakan jadi benang merah, sehingga tidak mengherankan bila Prof. Irwanto memberi intermezzo serupa “nama gaul” Sabu kepada peserta yang hadir.
Dalam konteks latar belakang dilakukannya penelitian, penyalahgunaan Crystalline Methamphetamine atau Crystal Meth alias Sabu -di Indonesia- , merupakan permasalahan serius yang terus meningkat di skala nasional. Merujuk pada data Badan Narkotika Nasional (BNN), estimasi jumlah pengguna narkotika jenis ini menembus angka 760.794 orang atau hampir 19% dari total pengguna narkotika di Indonesia dan bersarang di posisi terbanyak kedua setelah pengguna narkotika jenis Cannabis (Ganja). United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) mencatat bahwa pengguna Sabu di Indonesia lebih didominasi oleh laki-laki, mereka rata-rata mengonsumsi 360 gram Sabu sepanjang tahun. Jumlah tersebut berbanding jauh dengan pengguna Sabu perempuan yang rata-rata mengonsumi 25 gram Sabu sepanjang tahun.
Dari segi kesehatan, Prof. Irwanto menjelaskan sejumlah dampak jangka panjang akibat zat narkotika yang terus membayangi para penggunanya. Melalui penelitian kepada 600 responden yang dipilih menggunakan proportional random sampling didapatkan bahwa dampak kesehatan yang dialami ialah Stroke (14,6%), Gangguan Kejiwaan (13,1%), AIDS (2,7%), Kebocoran Katub Jantung (0,2%), TBC (3,0%), Penyakit Menular Seksual (6,8%), Sisoris Hati (1,5%), dan Hepatitis C (5,8%), dan penyakit lainnya (14,6%).
Sementara itu, jika menilik dari arah kebijakan narkotika di Indonesia, titik berat pendekatannya adalah moral-legal dan mulai mengarah pada kebijakan berbasis HAM, terutama hak untuk berobat dan hak untuk sehat sebagai pecandu. Kata “sehat” disini kemudian tidak hanya sekadar persoalan “tidak sedang sakit” secara fisik-biologis dan mental, tetapi sekaligus adanya rasa sejahtera secara sosial dan budaya. Oleh karena itu, dampak penggunaan Narkotika juga dirumuskan sebagai pengaruh dan dampak zat-zat psikoaktif yang dipakai bukan untuk keperluan pengobatan/medis terhadap kesehatan dan kesejahteraan fisik-biologis, mental-psikologis, dan sosial-kultural seseorang atau unit (keluarga dan masyarakat) di mana orang itu berada. Perumusan tersebut berimplikasi bahwa persoalan kesehatan merupakan persoalan individu tetapi juga merupakan persoalan sistemik. Artinya, pengalaman individu dalam menggunakan narkotika akan direfleksikan bukan hanya sebagai pengalaman individu, tetapi juga sebagai pengalaman sistem yang paling proksimal dengan kehidupannya. Salah satu contohnya adalah lingkungan keseharian pengguna narkotika. Hal ini kemudian cukup tergambar dari penjelasan Ignatius Praptoraharjo, Ph.D terkait dengan temuan data hasil penelitian.
“Ada yang menarik bila melihat dari data “Teman Pakai” pengguna Sabu di 6 Kota. Teman pakai yang paling banyak adalah teman atau sahabat sesama pengguna, pasangan seks, hingga anggota keluarga. Saat kami mencari responden untuk penelitian, tidak jarang rekomendasi responden ini kami dapatkan dari keluarganya, ada kakak merekomendasikan adiknya, paman merekomendasikan ponakannya, bahkan orangtua yang merekomendasikan anaknya. Bagi kami ini hal yang menarik terkait penerimaan orang terhadap pengguna Sabu. Saya sendiri jadi bertanya-tanya, apa mungkin pengguna Sabu itu tidak terlalu mendapat stigma negatif? Karena kesannya sudah seperti biasa, namun tentu perlu ada penggalian lebih dalam lagi untuk hal ini”, tutur Ignatius.
Lebih lanjut ketika membicarakan jaringan sosial pengguna Sabu, kemudian diketahui bahwa jaringan sosial pengguna laki-laki cenderung memiliki jumlah anggota perempuan yang sangat sedikit. Hal ini berbeda dengan jaringan sosial pengguna perempuan, meski lebih didominasi oleh laki-laki, tetapi anggota perempuan dalam jaringan mereka tetap lebih banyak. Akan tetapi, kedua jaringan sosial pengguna Sabu ini memiliki kecenderungan persamaan karakter yakni, seusia, teman satu kampung, saling mengenal lebih dari setahun, dan cenderung selalu berpatungan untuk membeli Sabu.