Search
Close this search box.

Virtual International Seminar “The Cascade of Care”

Foto. Dok Kegiatan

Layanan HIV yang berkelanjutan dan kaskade perawatan HIV memberikan model melalui indikator dalam memonitoring respons HIV. Kaskade ini juga menjadi model data yang kemudian menjadi komponen bagi pembuat kebijakan dan donor dalam melihat gambaran umum progres pencegahan HIV. Model data tersebut berimplikasi pada pendekatan 90/90/90 terhadap pencegahan HIV – 90% orang yang hidup dengan HIV tahu status, 90% orang yang tahu status HIV positif menerima terapi antiretroviral, dan 90% orang yang memakai pengobatan mencapai penekanan virus.

Akan tetapi, jika melihat pengadopsian dan penggunaan secara luas, kaskade kerap dimaknai berbeda dalam setiap konteks. Ada dua elemen utama yang dibutuhkan dalam pengumpulan data kaskade. Pertama, pemantauan (monitoring) dan evaluasi yang menekankan penggunaan data sebagai pengambilan keputusan. Kedua, surveillance and survey yang mempertimbangkan penggunaan alat pengambilan data. Untuk melihat bagaimana penggunaan istilah-istilah tersebut membentuk pemaknaan terhadap konsep kaskade, maka PUI-PT PPH PUK2IS Unika Atma Jaya bekerja sama dengan University of Melbourne melangsungkan Virtual International Webinar bertajuk “Kaskade Perawatan HIV: Gambaran Model Data Membentuk Pemahaman ‘Monitoring dan Evaluasi’ dan ‘Surveillance and Survey’ ”.

Adapun tujuan utama webinar ini ialah untuk memperoleh gambaran mengenai, 1). Model data kaskade perawatan HIV dalam konteks Indonesia; 2). Kritik dan implikasi model data kaskade sebagai standar perawatan HIV; dan 3). Penggunaan model data kaskade dalam program HIV. Tiga orang pemapar yang dilibatkan dalam kegiatan ini adalah Benjamin Hegarty, Ph.D ((McKenzie Postdoctoral Fellow in the School of Social and Political Sciences at the University of Melbourne) and PPH Research Fellow), Kristal Spreadborough (Melbourne Data Analytics Platform, University of Melbourne), Priyanka Pillai (Research Data Specialist for the Melbourne Data Analytics Platform (MDAP)), dan dipandu oleh Amalia Puri Handayani (Peneliti PUI-PT PPH PUK2IS UAJ).

Bertindak sebagai pembuka dari rangkaian paparan mengenai kaskade, Kristal Spreadborough terlebih dahulu menjelaskan rilisan laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2016. Dalam laporan tersebut, WHO menekankan bahwa pengumpulan dan penggunaan data sebagai strategi kunci dalam mengimplementasikan respons terhadap HIV (HIV (World Health Organization, 2016, hlm. 28 – 30). Kualitas data sangat dibutuhkan untuk menghitung akses layanan, layanan penyediaan, populasi yang sudah dijangkau, dan kualitas serta penerimaan sepanjang layanan HIV yang berkelanjutan. Hal tersebut menunjukkan bahwa perhitungan internasional lainnya telah turut berfokus pada pengumpulan data secara luas yang menggambarkan konsep “layanan HIV yang berkelanjutan” secara umum dan “kaskade perawatan HIV” pada umumnya.

Dirangkum dari penjelasan masing-masing pembicara, kaskade memang dilihat sebagai model yang universal, tetapi dalam penerapannya bisa saja menggunakan cara yang berbeda-beda tergantung dengan konteksnya. Beberapa isu juga ditemui dalam kaitannya dengan pengumpulan data, semisal data yang sudah diambil namun belum digunakan, dan ada juga permasalahan duplikasi data. Semua hal ini lalu memantik pertanyaan tentang seberapa efektif cara ini -pengumpulan data dalam kaskade- untuk memvisualisasikan epidemi HIV? Bagaimana proses ini berlangsung untuk mengidentifikasi populasi kunci serta seperti apa kegunaannya?

Merangkum pemaparan para narasumber, ketika kita membicarakan tentang monitoring dan evaluasi sebenarnya tidak melulu harus difokuskan pada kaskade. Akan tetapi, monitoring dan evaluasi sendiri selalu ada kaitannya dengan pengumpulan data dan model kaskade akan mempermudah hal tersebut. Masalahnya, dalam monitoring dan evaluasi sering kali kekurangan sumber daya manusia untuk mengerjakannya. Hal ini lantas menimbulkan dampak perubahan dari monitoring dan evaluasi dari waktu ke waktu sehingga ini lebih dipusatkan pada konsep tentang pengobatan yang efektif dan memunculkan istilah biomedikalisasi. Lebih jauh, monitoring dan evaluasi diketahui dapat menjadi pertimbangan para pembuat kebijakan dalam mengadopsi perawatan sebagai pencegahan, namun penggunaan model biomedical ini malah mempersempit tujuan awal. Selain itu, sejumlah kritik pun muncul, salah satunya adalah peningkatan biomedikalisasi telah menghadirkan konsekuensi akan menjauhkan pendekatan sosial dalam penerapan monitoring dan evaluasi. Kritik juga datang dari pendekatan kaskade itu sendiri, yakni pengobatan HIV dilihat secara sempit dan hanya menekankan pada jumlah viral load saja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Skip to content