Pendampinagn dan pencegahan transmisi HIV vertikal

Diskusi Kultural untuk Anak dengan HIV di Indonesia tentang Pendampingan dan Pencegahan Transmisi HIV Vertikal dan Perilaku Berisiko
Pendampingan dan Pencegahan Transmisi HIV Vertikal dan Perilaku Berisiko

Infeksi HIV dan infeksi menular seksual (IMS) dari ibu ke anak menjadi tantangan besar kesehatan masyarakat di Indonesia. Penularan HIV, sifilis, dan hepatitis B dari ibu hamil kepada bayi dapat terjadi selama masa kehamilan, persalinan, hingga pasca persalinan. Membicarakan infeksi dari ibu ke anak atau transmisi vertikal ini tidak bisa hanya berfokus kepada ibu, tetapi juga pendampingan yang komprehensif kepada perempuan muda, perempuan hamil, dan anak yang akan lahir dengan kemungkinan dengan infeksi HIV. 

Diskusi Kultural kali ini membahas tentang pendampingan dan pencegahan transimis vertikal dan perilaku berisiko. Kami mengundang Hartini sebagai ketua divisi program pencegahan dan pendampingan ibu hamil dari Ikatan Perempuan Positif Indonesia dan ⁠Bella Aubree sebagai koordinator Nasional Inti Muda Indonesia. Tantangan transmisi vertikal perlu berfokus kepada perempuan sebagai populasi kunci muda, sebagai calon ibu, dan ibu yang melahirkan anak dengan HIV. 

Program Pencegahan dan Pendampingan untuk Ibu Hamil dengan HIV

Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) menjadi salah satu organisasi dalam memberikan pendampingan bagi ibu hamil dengan HIV melalui program Emak Club. Program ini bertujuan mendampingi perempuan hamil dengan HIV, mengurangi kekhawatiran mereka, dan memastikan pengobatan yang tepat sehingga anak yang mereka lahirkan dapat bebas dari HIV. Meski sempat terhenti karena pandemi COVID-19, program ini telah beroperasi kembali di 15 kota dan kabupaten di Indonesia.

Pendekatan PPIA sendiri berfokus pada empat prong strategi: (1) pencegahan HIV primer pada calon orang tua; (2) pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan; (3) pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi; dan (4) perawatan dan dukungan bagi ibu dan bayi yang terdampak. Saat ini, pelaksanaan tes HIV, sifilis, dan hepatitis B yang telah wajib terlaksana bagi ibu hamil. 

Namun, langkah preventif atas transmisi vertikal HIV pada remaja dan pasangan muda masih perlu penguatan lebih lanjut. Edukasi terhadap remaja tentang risiko HIV, terutama sebelum mereka menikah, sangat penting untuk memutus rantai penularan di masa depan.

Tantangan dalam Pelaksanaan Program Pencegahan dan Pendampingan

Salah satu tantangan besar adalah kurangnya deteksi dini. Banyak perempuan baru mengetahui status HIV mereka ketika sudah memasuki trimester akhir kehamilan. Dalam situasi ini, dukungan emosional dan informasi yang akurat sangat diperlukan. Selain itu, akses terhadap pengobatan, masalah administratif, dan stigma menjadi penghalang untuk memberikan pendampingan yang optimal.

Meskipun kebijakan PPIA telah memungkinkan ibu hamil dengan HIV melahirkan secara normal dan memberikan ASI, masih banyak yang belum memahami peraturan ini dengan baik. Memperkuat kolaborasi antara pemerintah, komunitas, dan layanan kesehatan dapat memberikan perlindungan dan kesehatan ibu dan anak yang hidup dengan HIV.

Edukasi remaja untuk mencegah transmisi HIV vertikal

Selain fokus pada ibu hamil dengan HIV, populasi muda juga menjadi kelompok yang rentan. Menurut data UNAIDS tahun 2022, sebanyak 51% kasus infeksi HIV di Indonesia terjadi pada remaja berusia 15-24 tahun. Faktor risiko pada remaja ini terkait dengan dorongan seksual.

Inti Muda Indonesia telah melakukan edukasi preventif untuk menjembatani jarak informasi pada kelompok ini. Edukasi ini tidak hanya bertujuan untuk memberikan informasi pencegahan, tetapi juga untuk mendorong remaja melakukan tes HIV. Upaya ini penting agar remaja lebih sadar akan risiko penularan HIV serta mampu melindungi diri sendiri dan pasangan mereka.

Tantangan dalam advokasi tentang transmisi HIV vertikal

Salah satu tantangan dalam edukasi HIV adalah adanya potensi kriminalisasi dalam KUHP baru yang akan terbit pada tahun 2026. Rancangan KUHP dalam Pasal 481 dan 483 terkait kontrasepsi berbanding terbalik dengan upaya mengakhiri epidemi HIV dengan mengadvokasian seks aman. Pasal ini akan mengkriminalisasi individu yang memperlihat alat kontrasepsi kepada anak di bawah 18 tahun. Padahal, akses ke alat kontrasepsi dan edukasi tentang penggunaannya merupakan langkah penting dalam mencegah penularan HIV.

Inti Muda Indonesia memberikan program edukasi dan advokasi untuk populasi muda yang berisiko, termasuk pekerja seks, pengguna NAPZA, dan LSL. Mereka juga membangun Koalisi Orang Muda lintas isu yang bertujuan untuk berbagi pengetahuan dan melakukan advokasi bersama.

Pentingnya kolaborasi dan edukasi

Mengakhiri stigma terhadap orang yang hidup dengan HIV dan memperkuat langkah preventif harus berjalan berdampingan. Ketika masyarakat memahami infeksi HIV dan pencegahannya, stigma dapat berkurang secara signifikan. Kolaborasi antara pemerintah, komunitas, dan organisasi masyarakat sipil seperti IPPI dan Inti Muda Indonesia adalah kunci dalam upaya pencegahan infeksi HIV dan IMS.

Program PPIA yang sudah berjalan dan upaya edukasi untuk remaja oleh Inti Muda Indonesia merupakan langkah penting dalam menangani epidemi HIV di Indonesia. Namun, untuk mencapai perubahan yang lebih luas, diperlukan strategi yang lebih komprehensif dan sinergi dari berbagai pihak. Bersama, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan bebas dari stigma, serta memastikan masa depan yang lebih sehat bagi generasi mendatang.