Literasi Digital untuk cek Fakta dan Hoaks

2020

Foto Hanya Ilustrasi.

Satpam             : “Mohon ijin cek suhu tubuh!”
Customer          : “ Silakan pak (sambil menurunkan face shield dan mengarahkan dahi ke arah satpam)
Satpam             : Gak usah, di lengan saja
Customer          : … (dengan bingung menyodorkan lengan)

Apakah ada yang pernah mengalami situasi serupa?

Marak tersebar berita di media sosial tentang alat pengukur suhu tubuh thermo gun dapat merusak otak. Situasi pandemi COVID-19 mewajibkan pengecekan suhu tubuh ketika hendak memasuki ruang tertutup. Thermo Gun dikatakan menggunakan radiasi laser yang dapat merusak struktur otak. Berita inilah yang melatarbelakangi sepenggal kejadian di atas.

Informasi ini bukan pertama kali yang beredar secara masif di media sosial dan dipercayai di masyarakat. Berita lain adalah tentang minyak kayu putih (eucalyptus) yang dapat menyembuhkan dan menghilangkan virus COVID-19. Berdasarkan penggalan chat di Whatsapp, penggunaan minyak kayu putih (eucalyptus) dengan mengusapkan pada bagian dada dan mengonsumsinya bersama air hangat dapat menyembuhkan penyakit COVID-19. Atas berita ini, pembelian minyak kayu putih meningkat, dan harga minyak kayu putih meninggi di beberapa tempat

Sepenggal kisah di atas mungkin juga pernah Anda alami, atau sempat Anda percayai. 

Jadi, sebenarnya mengapa kita dengan mudahnya bisa mempercayai berita yang tidak benar ini? Apa penyebabnya seseorang dapat mempercayai sebuah informasi dari media sosial?

Media Sosial sebagai Sumber Berita

Ketika masa sulit seperti pandemi COVID-19, setiap orang menjadi lebih mudah untuk mengakses berbagai informasi dengan keberadaan media sosial. Facebook, Instagram, Twitter, dan WhatsApp menjadi sumber berita. Akses pada media sosial yang tinggi memungkinkan cepatnya pertukaran informasi terjadi, baik itu fakta maupun hoaks.

Dengan keberadaan sosial media yang menjadi andalan sebagai sumber informasi, kebenaran dari sebuah berita menjadi dinomorduakan. Banyak orang yang menempatkan prioritas pada berbagi informasi yang ia terima terlepas kebenaran dari informasi tersebut. Sebuah informasi seringkali dengan lebih mudah kita percayai karena telah dikirimkan oleh banyak orang. Kini, masyarakat menilai kebenaran sebuah informasi berdasarkan siapa yang membagikan, berapa banyak likes, komentar dan share, tanpa lebih lanjut memahami isinya.

Banyak publik figur yang berpandangan tidak berlandaskan bukti, dan lebih mengedepankan teori konspirasi. Salah satu contohnya adalah terkait penggunaan masker dan konspirasi COVID-19. Dengan banyaknya pengikut publik figur di media sosial, hal ini dapat memengaruhi masyarakat untuk mengikuti perilakunya yang keliru.

Hoaks dan Lingkaran Informasi yang Menyesatkan

Seseorang menyaring informasi berdasarkan kacamata pengalaman masa lalu mereka. Umumnya seseorang akan secara kognitif menolak apabila sebuah informasi berkontradiksi terhadap kepercayaan yang ada. Oleh karena itu seseorang cenderung mencari informasi yang menguatkan pandangannya, yang biasa dikenal dengan bias konfirmasi. Bias konfirmasi adalah kecenderungan untuk mencari, menafsirkan, mendukung, dan mengingat informasi yang menegaskan atau mendukung keyakinan atau nilai seseorang sebelumnya. Ini adalah jenis bias kognitif penting yang memiliki efek signifikan pada berfungsinya masyarakat dengan mendistorsi pengambilan keputusan berbasis bukti.

Pada era digital ini, jauh lebih mudah untuk menghindari informasi yang tidak sesuai dengan preferensi nilai dan keyakinan kita. Media sosial memudahkan setiap orang untuk menghindari informasi yang tidak cocok dengan narasi yang sudah ada. Semua platform digital termasuk sosial media memiliki algoritma yang dapat memperkuat bias konfirmasi pada individu. Secara otomatis, algoritma di media akan menghindarkan informasi yang tidak menyenangkan menurut pengguna, dan mendekatkan berita atau informasi yang sesuai dengan keyakinan atau perilaku yang dijalani oleh pengguna tersebut. Hal ini terbukti oleh Jun (2012) yang menjelaskan bahwa internet memfasilitasi keterpaparan selektif, yaitu pemilihan informasi yang sesuai dengan keyakinan seseorang. Dengan begitu, sirkulasi informasi dari media sosial akan bertahan menyesuaikan hal tersebut. Orang yang mempercayai berbagai hoaks akan terus disodorkan pada informasi yang tidak jelas kebenarannya.

Literasi Digital

Membaca membutuhkan keterbukaan pikiran. Saat menerima informasi baru yang berbeda dari pengetahuan sebelumnya, seseorang mungkin akan mengalami disonansi kognitif. Dalam menyikapi disonansi tersebut, seseorang dapat memilih untuk mempertanyakan atau menghindari berita tersebut. Pada era digital ini, keterbukaan pikiran dan kemampuan untuk mengevaluasi sebuah informasi menjadi keterampilan penting. Dengan begitu, seseorang akan mampu untuk menemukan, mengevaluasi, dan menyusun informasi yang jelas melalui tulisan dan media lain di berbagai platform digital, atau biasa dikenal dengan literasi digital.

Saat menilai keandalan sumber media serta kebenaran klaimnya, kita perlu untuk membaca secara menyeluruh seluruh bagian sebelum membagikan dan memperkuat pesan. Dorrie Cooper (dalam Sano, 2017) merekomendasikan pertanyaan-pertanyaan berikut ini untuk mengevaluasi kebenaran sebuah berita atau informasi:

  1. Tanyakan secara kritis, apakah sifat dari klaim tersebut merupakan sebuah fakta atau opini?
  2. Apakah tersedia sumber yang dapat diteliti? Dapatkah Anda menemukan penelitian utama dari pernyataan mereka?
  3. Membaca secara lateral (mencari konteks dan perspektif dari situs lain) lebih efektif daripada membaca secara vertikal (yang melibatkan penyelidikan mendalam atas keandalan sumbernya).

Sebagai referensi, kita bisa membaca dan mengecek kebenaran sebuah berita (hoax atau disinformasi) melalui kanal dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia di sini.

Only available in Indonesian

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download

Literasi Digital untuk cek Fakta dan Hoaks

Skip to content