Search
Close this search box.

AIDS: Pandemi yang Terlupakan (AIDS: The Forgotten Pandemic)

Foto Hanya Ilustrasi.

[Seri Reportase AIDS Conference 2020]

Sesi ini merupakan salah satu sesi satelit yang diadakan di AIDS Conference 2020 secara virtual. Sebanyak 5 pakar dari berbagai bidang dan organisasi menghadiri sesi ini sebagai narasumber. Diskusi dimulai dengan pembahasan terkait seberapa jauh pandemi HIV-AIDS telah berkembang selama kurang lebih 40 tahun terakhir, yang mana ribuan pakar baik dari segi medis maupun sosial telah berjuang untuk menuntaskan pandemi ini. Namun seiring dengan berjalannya waktu, pandemi HIV-AIDS turut berbenturan dengan penyakit menular lainnya, hingga sampai pada akhir tahun 2019 pandemi Corona Virus Disease (COVID-19) yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 bermula. Skenario ini memaksa klinisi, peneliti dan pakar lainnya untuk menarik perhatian mereka dari penanganan HIV-AIDS dan beralih kepada pandemi baru yang merebak.

Salah satu narasumber yaitu Dr. Jorge Saavedra, direktur eksekutif AHF Global Public Health Institute at the University of Miami memaparkan materi mengenai urgensi kebutuhan konferensi kesehatan masyarakat global. Pada awal diskusi ia mengungkapkan bahwa dunia, terutama World Health Organization (WHO) terlambat dalam menangani pandemi. Hal tersebut pun terjadi tidak hanya pada situasi COVID-19 saat ini, namun juga di tahun-tahun sebelumnya seperti saat HIV mewabah. Oleh karena itu, iya memberikan beberapa rekomendasi pada aspek penanggulangan wabah serta pembangunan berkelanjutan, seperti: 1) dibutuhkannya badan United Nations (UN) baru seperti UNPANDEMICS; 2) mengulas kembali rencana Sustainable Development Goals (SDG) yang telah dirancang; dan 3) alokasi dana penanganan penyakit Tuberculosis (TB) perlu ditingkatkan karena sangat berkaitan dengan COVID-19 yang juga menyerang sistem pernafasan.

Masih berkaitan dengan dampak dari pandemi COVID-19, Dr. Angeli Achrekar dari The President’s Emergency Plan for AIDS Relief (PEPFAR) Amerika Serikat (AS) memaparkan seberapa besar COVID-19 mempengaruhi respon penanggulangan HIV terutama di AS. Ia berkata bahwa program-program PEPFAR perlu dikaji ulang akibat COVID-19 dan hal tersebut akan menimbulkan tantangan yang cukup besar bagi semua yang berkecimpung dalam penanggulangan HIV-AIDS, terutama Orang dengan HIV-AIDS (ODHA) sendiri. Beberapa macam intervensi kunci berhasil dijalankan dalam penyesuaian pengenangan HIV-AIDS di tengah-tengah wabah COVID-19 ini, 2 diantaranya ialah desentralisasi pemberian obat dan pengembangan wadah virtual untuk menjamin kontinuitas pengobatan serta perawatan.  

Diskusi selanjutnya dibawakan oleh direktur Stop TB Partnership, Lucica Ditiu, mengenai tantangan dan peluang yang berpotensi muncul dari pandemi COVID-19 terutama dalam konteks penanggulangan HIV dan TB. Dari sisi program penanganan HIV dan TB, Ditiu menyampaikan bahwa dampak COVID-19 sangat buruk, dimana upaya-upaya yang telah dibangun sampai saat ini terasa terhempas bertahun-tahun ke belakang seperti “tanah longsor”. Hal ini membuatnya berpikir bahwa seakan-akan HIV dan TB terlupakan karena hampir sebagian besar sumber daya dialihkan untuk menangani COVID-19. Walau demikian, investasi yang selama ini telah dituangkan untuk penanganan HIV dan TB sangatlah berguna untuk melawan COVID-19, terutama intervensi-intervensi untuk TB yang juga merupakan penyakit sistem pernafasan. Dengan demikian, ia berharap penanganan COVID-19 bisa menjadi lebih optimal.

Berlanjut pada diskusi yang dibawakan oleh Allan Maleche dari The Kenya Legal and Ethical Issues Network on HIV & AIDS (KELIN) yang fokus pada konsekuensi sosial yang timbul akibat pandemi COVID-19 pada jaringan HIV-AIDS. Dalam diskusi yang berjudul “Ignoring Human Rights Fuels Pandemic”, ia memaparkan bagaimana respon-respon terhadap pandemi seringkali meninggalkan komunitas, LSM, dan organisasi sipil lainnya di belakang. Pemerintah dan pihak berwenang lainnya terlihat lebih fokus pada pendekatan medis saja dengan hanya sedikit mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan psikologis dari yang terdampak oleh pandemi. Ia menyarankan untuk lebih melibatkan organisasi sipil dan komunitas, karena pendekatan dari sudut pandang yang holistik merupakan langkah yang sangat krusial untuk memerangi pandemi, baik HIV ataupun COVID-19.

Diskusi terakhir oleh Laurie Garrett yang merupakan seorang jurnalis ilmiah membandingkan aspek-aspek penting dari berbagai pandemi seperti HIV, COVID-19, dan pandemi-pandemi lainnya. Sama halnya seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa COVID-19 adalah tantangan yang berat namun di sisi lain juga memberikan berbagai peluang. Salah satunya adalah bagaimana pandemi ini membongkar celah serta kekurangan yang hadir pada sistem-sistem negara dan masyarakat. Situasi ini pun bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki kekurangan tersebut dan ada 5 aspek yang menurutnya sangat penting untuk diperhatikan yaitu: 1) sains, 2) media, 3) politisi, 4) komunitas / LSM, dan 5) kerja sama antar sektor. Di akhir diskusi, ia bertutur bahwa betapa pentingnya kita untuk melihat ke belakang, dan menggunakan pelajaran-pelajaran yang telah diperoleh dari pandemi HIV untuk diaplikasikan dalam melawan COVID-19.

Dari sesi ini, para narasumber sepakat bahwa segala pandemi, baik HIV yang telah lama ada maupun COVID-19 yang baru mewabah, adalah masalah kesehatan masyarakat global bukan hanya satu negara saja dan membutuhkan komitmen global dari negara-negara sebagai dasar untuk upaya penanganannya. Kemampuan kita untuk bekerja sama menjadi kekuatan yang membuat kita lebih siap dalam melawan pandemi dan dunia tentunya perlu berubah ke arah yang lebih baik setelah wabah COVID-19 usai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Skip to content