Search
Close this search box.

Forum Diskusi Ilmiah Nasional PPH: Pengaruh Pandemi COVID-19 dan Epidemi HIV di Indonesia

Program penanggulangan HIV merupakan salah satu yang menanggung dampak pandemi COVID-19. UNAIDS menyatakan bahwa dampak yang mungkin timbul pada negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah adalah terkait dengan ketersediaan ARV. Berdasarkan survei terhadap kebijakan yang relevan, stok obat dan gangguan layanan HIV akibat COVID-19 yang dilakukan oleh WHO pada bulan April dan Juni 2020, terdapat 73 negara berisiko kehabisan stok obat ARV dan 24 negara mengalami persediaan ARV yang sangat rendah.[1] Kondisi ini dipicu oleh kegagalan pemasok untuk mengirimkan ARV tepat waktu dan penutupan layanan transportasi akibat pandemi. Begitu juga dengan layanan tes HIV dan IMS, juga mengalami kendala operasional selama pandemi.

Kondisi serupa turur dialami Indonesia. Selama masa pandemi COVID-19, kurangnya stok dan kemacetan distribusi ARV merupakan persoalan yang dialami ODHA di Indonesia. Kelangkaan stok ARV bukan satu-satunya permasalahan yang dihadapi ODHA. Pembatasan layanan kesehatan untuk pencegahan penularan COVID-19 dan kekhawatiran tertular ketika datang ke layanan turut jadi kendala ODHA untuk memperoleh layanan kesehatan lainnya. Belum lagi bayang-bayang masalah perekonomian dan/atau pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang semakin menambah rumit posisi ODHA di tengah pandemi COVID-19. Untuk memahami lebih dalam permasalahan ini, Pusat Penelitian HIV AIDS UNIKA Atma Jaya-Pusat Unggulan Kebijakan Kesehatan dan Inovasi Sosial (PPH-PUK2IS) menyelenggarakan kegiatan Forum Diskusi Ilmiah Nasional “Pengaruh COVID-19 terhadap Epidemi HIV di Indonesia”. Kegiatan ini dilaksanakan di ruang pertemuan virtual Webminar pada Senin siang (24/08) dan bertujuan untuk dapat menyajikan gambaran mengenai sejauhmana pandemi COVID-19 akan mempengaruhi epidemi HIV di Indonesia. Dari sana diharapkan kehadiran forum dapat membuka wawasan dan memberikan rekomendasi terhadap strategi kebijakan penanggulangan epidemi HIV di tengah masa pandemi ini.

Dibuka oleh Evi Sukmaningrum, Ph.D selaku Kepala PPH-PUK2IS dan Lanny Luhukay selaku Kepala Seksi HIV AIDS, Subdit HIV AIDS dan PIMS, Kementerian Kesehatan RI, empat orang persona didapuk sebagai pemateri dalam kegiatan ini. Mereka adalah dr.Pandu Riono, Ph.D (Ahli Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia), Anindita Gabriella Sudewo (PhD Candidate, University of New South Wales), Benjamin Hegarty, Ph.D (University of Melbourne), dan Meirinda Sebayang, DH, MSc.PH (Ketua Serikat Jaringan Indonesia Positif).

Dipandu oleh dr. Allegra Wolter sebagai moderator, dr.Pandu Riono, Ph.D membuka sesi paparan materi dengan sejumlah highlight menarik terkait community transmissions, teori konspirasi yang menyesatkan, hingga konteks sosial termasuk stigma dan diskriminasi yang terjadi selama pandemi COVID-19. “Antara COVID-19 dan HIV punya sejumlah persamaan. Kedua virus sama-sama memiliki window period, yakni ketika seseorang sudah terjangkit, bisa aja virus tidak terdeteksi oleh rapid rest. Orang yang tidak bergejala di kedua virus, sama-sama bisa menularkan. Keduanya juga sama-sama belum ditemukan obatnya. Ada lagi pola yang muncul ketika awal pandemi terjadi, yaitu munculnya berbagai teori konspirasi yang menyesatkan. Contohnya, konspirasi bahwa COVID adalah buatan manusia, kemudian terkait penemuan kalung, atau obat malaria dan obat HIV yang dianggap bisa menyembuhkan COVID,” terang dr.Pandu Riono, Ph.D.

Survei kilat bertajuk “Kebutuhan Kesehatan ODHA di Indonesia di masa Pandemi COVID-19” yang dilakukan oleh Anindita Gabriella Sudewo bersama empat orang rekannya, dipaparkan kepada peserta forum diskusi. Berdasarkan sejumlah temuan dalam surveinya, Anindita Gabriella dan tim menghasilkan sejumlah refleksi. Ia menuturkan, “Intervensi kesehatan apapun yang dilakukan dalam meghadapi pandemi harus mengingat dan memperhatikan hambatan struktural, serta melibatkan berbagai faktor pendukung di tingkat struktural yang dapat membantu perubahan perilaku atau praktek di tingkat individu. Tidak hanya berpaku pada pendekatan biomedis. Ketika ada isu kebutuhan dasar yang belum terpenuhi, sulit untuk menggalakan gerakan pencegahan COVID, seperti jaga jarak dan penggunaan masker”.

“Perlu ada fleksibilitas mekanisme penyediaan ARV, seperti dengan memberikan ARV lebih banyak sebagai persediaan bagi ODHA dan penggunaan layanan kurir untuk distribusi ARV ke ODHA. Di sisi lain, f diharapkan juga agar adanya fleksibilitas agar layanan HIV tidak hanya terbatas pada basis pemerintah, tapi juga melibatkan di luar struktur pemerintahan,” tambahnya.

Sorotan menarik yang mendokumentasikan pekerja outreach (penjangkauan) bagi lelaki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) di masa pandemi COVID-19 menjadi materi yang disampaikan Benjamin Hegarty, Ph.D. Perbedaan yang paling terasa di masa pandemi adalah mekanisme penjangkauan yang tadinya dilakukan secara tatap muka menjadi berbasis daring. Perubahan kondisi ini lantas berdampak pada para pekerja penjangkauan. “Ada beberapa pengalaman penjangkauan virtual dari pekerja yang terdokumentasikan. Ada yang menceritakan bila target jangkauan cenderung lebih merasa khawatir atau enggan ketika diberikan informasi secara virtual. Lalu target jangkauan yang cenderung lebih sulit di follow up jika berkomunikasi secara virtual. Dan ada juga yang khawatir akan risiko hack karena online. Dari pengalaman yang terdokumentasi ini kemudian diketahui bahwa diperlukan adanya pelatihan dan dukungan lebih lanjut untuk penjangkauan virtual dan upaya pengintegrasian dengan layanan kesehatan”, ungkap Benjamin Hegarty.

Meirinda Sebayang, SH, MSc.PH sebagai pemateri terakhir menyuguhkan survey cepat kebutuhan ODHA di masa pandemi COVID-19. Dari total sampel responden survey sebanyak 1000 orang, diketahui bahwa 41% responden mengalami kecemasan. Ia kemudian menjelaskan, “Jenis-jenis kecemasan atau kekhawatiran yang dialami teman-teman ODHA lebih kepada kesehatan diri sendiri sebesar 51%, kemudian kesehatan keluarga sebesar 49%. Selain itu mereka juga mengkhawatirkan stigma terkait status HIV-nya dan kekhawatiran untuk mendapatkan obat. Sebanyak 47.6% atau sekitar 450 responden memiliki stok obat ARV kurang dari 1 bulan di awal pandemi, dan  sebanyak 89% mengakses layanan obat ARV sebulan sekali. Temuan ini diharapkan sebagai bahan advokasi untuk percepatan penyediaan stok ARV untuk 3 sampai 6 bulan, sesuai dengan anjuran WHO.”

Berdasarkan paparan materi dan dinamisnya sesi diskusi yang berlangsung segera setelah pemateri rampung menyampaikan presentasinya, ada setidaknya tiga poin inti menarik yang dapat dijadikan kesimpulan. Hal ini juga disampaikan oleh dr.Allegra Wolter selaku moderator. Ketiga poin tersebut ialah:

  1. Perlu ada perencanaan distribusi obat dan penjangkauan yang disesuaikan dengan konteks wilayah dan sosial ODHA di masa pandemi COVID 19. Salah satunya terkait penjangkauan virtual yang selama ini sudah berjalan.
  2. Mengubah arah perspektif dari yang semula berbasis klinis (clinical centered) menjadi  public health centered. Di dalamnya juga perlu memberikan perhatian pada layanan kesehatan yang tidak dapat terlepas dari ODHA, yakni tuberkulosis, kesehatan jiwa, dan COVID-19.
  3. Perlu disusun penelitian-penelitian lanjutan terkait COVID-19 sehingga bisa menghasilkan rekomendasi yang lebih tepat sasaran di Indonesia.

Download Materi


[1] Hasil survei WHO https://www.who.int/hiv/data/HHS_Service_Disruption_Slides_July_2020.pdf?ua=1

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Skip to content