Search
Close this search box.

Membicarakan Stigma: Mengurai Strategi Inklusi untuk Komunitas dengan Kondisi Kesehatan Terstigma

Foto. Dok Kegiatan

Stigma masih jadi momok bagi dunia kesehatan dan mereka yang hidup dengan kondisi kesehatan khusus. Stigma bukan saja menghalangi manajemen pengendalian penyakit, tetapi juga dapat menurunkan kualitas hidup dari orang dan keluarga yang mengalaminya. Ambil contoh, lepra atau kusta, lalu orang yang hidup dengan HIV, atau pernah mengalami TBC, lalu mereka yang berjuang dengan masalah kesehatan jiwa, teman-teman disabilitas, dan lain sebagainya. Kita tidak bisa menutup mata bila orang-orang dengan kondisi kesehatan tertentu seperti ini sangat rentan mengalami stigma. Bahayanya, stigma terhadap kondisi kesehatan seseorang tersebut tentu saja akan membawa pengaruh buruk terhadap motivasi dan akses kepada pengobatan (treatment) yang sedang atau akan dijalani. 

Berbagai upaya dilakukan guna mengatasi atau setidaknya terus mengikis stigma kepada orang dengan kondisi kesehatan khusus, terutama orang dengan HIV, Lepra, dan Skizofrenia. Akan tetapi, eksistensi stigma di tengah dunia kesehatan dan masyarakat masih terus melekat. Keresahan terkait situasi ini kemudian membawa PUI-PT Pusat Penelitian HIV UNIKA Atma Jaya (PPH) untuk menghelat Forum Diskusi Ilmiah Nasional bertajuk “Strategi Inklusi untuk Komunitas dengan Kondisi Kesehatan Terstigma: HIV, Lepra dan Skizofrenia”. Bertempat di ruang pertemuan daring, kegiatan ini berlangsung pada Kamis sore (26/11). Adapun tujuan utama penyelenggaraannya ialah memperoleh gambaran menyeluruh mengenai kondisi yang dialami oleh kelompok dengan kondisi kesehatan terstigma, khususnya orang dengan HIV AIDS (ODHA), Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), dan Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK).

Berlangsung selama tiga jam dan dipandu oleh Evi Sukmaningrum, PhD (Pusat Penelitian HIV AIDS UNIKA Atma Jaya), enam orang pemateri dihadirkan. Mereka adalah Prof. Irwanto, PhD (Guru Besar Fakultas Psikologi UNIKA Atma Jaya), Devika S.Psi (Tim Peneliti Stigma Index PPH), Ruth Peters, PhD (Athena Institute Vrije Universiteit-Amsterdam), dr. Prima Yosephine Hutapea, MKM (Kepala Sub Direktorat Penyakit Tropis Menular, Kemenkes RI), Sarju S. Rai, MHSc, MSc, MA (PhD Researcher at Athena Institute, Vrije Universiteit-Amsterdam); Dr.dr.Astri Parawita Ayu, Sp.KJ (Fakultas Kedokteran UNIKA Atma Jaya). Selain itu, Hana Krismawati, M.Sc (Balai Litbang Biomedis Papua, Kemenkes RI) dan Widya Prasetyanti (Program Manager NLR Indonesia), didapuk sebagai penanggap dalam Forum Diskusi Ilmiah Nasional kali ini.

“Pengalaman stigma yang terjadi dan juga diterima oleh orang-orang yang mengalaminya sering kali terfragmentasi berdasarkan jenis penyakitnya saja, lebih banyak juga faktor eksklusinya dan bukan inklusi. Padahal persoalan stigma ini sering bersifat interseksional. Stigma terkait HIV, kesehatan jiwa, maupun penyakit lainnya perlu disadari bisa muncul atau terjadi secara bersamaan dan dapat membentuk stigma lain serta mempengaruhi identitas sosial individu maupun masyarakat yang mendapat stigma tersebut.  Oleh karena itu kita perlu memahami persoalan stigma secara menyeluruh, dan bila intervensi perlu dilakukan, kita membutuhkan intervensi yang tersifat interseksional lintas isu kesehatan,” ungkap Prof. Irwanto PhD yang mengalawi sesi pemaparan materi.

Persoalan intervensi dalam upaya pengentasan stigma juga menjadi sorotan utama pada materi yang dibawakan Ruth Peters, PhD. Spesifik menyasar pada individu serta kelompok masyarakat yang mempunyai riwayat penyakit lepra atau kusta, Ruth Peters, PhD membagikan pengalamannya dalam melakukan penelitian dalam proyek pengentasan stigma penyakit kusta. “Proyek SARI atau Stigma Assessment and Reduction of Impact, dibuat sebagai usaha untuk mengatasi stigma yang terjadi pada mereka yang hidup dengan atau pernah hidup dengan kusta. Intervensi ini melingkupi konselsing di level interapersonal, socio economic development di level interpesonal, dan kontak antar sesama di level komunitas,” tuturnya.

Mewakili sisi pemerintah, khususnya Kemenkes RI, dr. Prima Yosephine Hutapea, MKM selaku Kepala Sub Direktorat Penyakit Tropis Menular, turut berbagi cara yang selama ini telah coba dilakukan pemerintah dalam mereduksi stigma. Dalam presentasinya, ia melansir delapan cara mereduksi stigma, yakni 1). Meningkatkan pengetahuan tentang penyakit tertentu, bagaimana ditularkan, apa saja simtomnya, bagaimana pengobatannya, dll. Dengan memiliki informasi yang cukup, secara kognitif kita akan terbekali dan tidak takut untuk berinteraksi; 2). Memiliki pengetahuan yang cukup guna mengurangi perasaan tidak nyaman; 3). Hindari mengkait-kaitkan penyakit dengan kondisi sosial, karena akan memunculkan pandangan stereotip; 4). Membuat atau mendorong munculnya kebijakan yang mendukung pengurangan stigma; 5). Meningkatkan rasa percaya diri pasien melalui perhatian dan bentuk lain; 6). Menjaga konsep bahwa manusia merupakan makhluk Tuhan yang memiliki derajad yang sama; 7). Menjaga kerahasiaan, karena tidak semua oran nyaman apabila orang lain tahu akan kondisi kesehatannya; dan 8). Membuat orang  lain dan diri kita (sumber stigma) menyadari hal tersebut, karena kita bisa mengstigmatisasi orang lain tanpa menyadarinya.

Download Materi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Skip to content