Search
Close this search box.

Membicarakan Stigma terhadap Orang dengan HIV dalam Akses Layanan Kesehatan

Foto. Dok Kegiatan

Tidak bisa dipungkiri bahwa stigma dan diskriminasi masih jadi hal yang kerap diterima oleh orang dengan HIV. Stigma dan diskriminasi ini tidak hanya datang dari masyarakat umum, tetapi juga terjadi dalam sistem layanan kesehatan. Bentuk stigma dan diskriminasi yang biasanya terjadi sangat bervariasi, mulai dari penempatan papan status pasien secara terbuka pada tempat layanan, gosip atau perbincangan mengenai status pasien, pelecehan secara verbal maupun sikap, penolakan pemberian layanan atau pengisolasian pasien HIV, pembukaan status HIV tanpa persetujuan ataupun pemberian rujukan tes HIV tanpa konseling, serta berbagai macam jenis lainnya. Walhasil, orang dengan HIV tidak dapat memanfaatkan secara optimal layanan kesehatan karena mereka menghindari stigma dan diskriminasi yang sering terjadi.

Adanya stigma dan diskriminasi di layanan kesehatan ini secara umum menjadi hambatan yang cukup besar dalam pencapaian target cakupan kesehatan secara menyeluruh (universal health coverage). Selain itu, secara khusus beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa stigma dan diskriminasi juga menghambat penanggulangan epidemi HIV dan AIDS. Sebab, diskriminasi yang ada menghambat kelompok tertentu seperti populasi yang terpinggirkan (marginalized population) dan populasi kunci untuk mengakses layanan kesehatan (Nyblande, et al. 2009; Feyissa, et al. 2012). Untuk memahami dan mencari solusi terbaik mengenai stigma dan diskriminasi yang diterima oleh orang dengan HIV pada layanan kesehatan, PUI-PT PPH PUK2IS Unika Atma Jaya menyelenggarakan Forum Diskusi Ilmiah Nasional bertajuk “Stigma terhadap Orang dengan HIV dalam Akses Layanan Kesehatan”.

Dilaksanakan secara daring pada Kamis siang (29/04), kegiatan menggandeng tiga orang pemateri utama, yakni Arie Rahadi, Ph.D. (PUI-PT PPH PUK2IS UAJ), Agung Waluyo, S.Kp., M.Sc., Ph.D. (Fak. Keperawatan, Universitas Indonesia), Gabi Gabriella Langi, MPH. (PUI-PT PPH PUK2IS UAJ), dan dipandu oleh Devika, S.Psi (PUI-PT PPH PUK2IS UAJ).

Sebagai narasumber pertama, Arie Rahadi, Ph.D menyajikan hasil temuan survei penelitian Stigma Index 2.0 dengan judul spesifik “Pengalaman Stigma terhadap Orang dengan HIV dalam Lingkup Sektor Kesehatan: Temuan Survei Stigma Index 2.0”. Dilakukan oleh Yayasan Spiritia bekerja sama dengan PUI-PT PPH PUK2IS UAJ, penelitian Stigma Index 2.0 menunjukkan stigma paling umum yang dialami oleh orang dengan HIV pada saat mengakses layanan ialah pemberian saran untuk menghindari seks (11,3%). Sementara itu, beberapa bentuk stigma di layanan kesehatan menyasar pada gender tertentu. Misalnya saja, transgender yang mengalami penolakan layanan kesehatan tujuh kali lipat lebih banyak (7,6%) daripada orang dengan HIV perempuan (1,1%).

Paparan yang tak kalah menarik juga disampaikan oleh Agung Waluyo, S.Kp., M.Sc., Ph.D yang membawakan hasil studi “Perilaku Perawat terhadap Orang dengan HIV di Layanan Kesehatan”. Berdasarkan temuan data, setidaknya ada empat faktor yang mempengaruhi terbentuknya stigma dari perawat dan calon tenaga kesehatan terhadap orang dengan HIV, yaitu pendidikan (pendidikan yang rendah), religiositas (religiositas yang tinggi), kompentensi (merasa diri tidak kompeten), dan kebijakan Rumah Sakit (RS yang berafiliasi dengan agama tertentu memiliki kebijakan pelatihan HIV berkala).

Gaby Gabriela Langi, MPH, jadi pemateri terakhir dalam forum diskusi ilmiah kali ini. Ia menyajikan paparan berjudul “Stigma dan Diskriminasi Terhadap Orang yang Hidup dengan HIV AIDS di Antara Tenaga Kesehatan dalam Konteks Desentralisasi Layanan HIV”. Presentasi ini didasarkan temuan studi yang ia lakukan dengan menggunakan metode potong lintang (cross-sectional) pada 234 tenaga kesehatan di 1 RSUD dan 13 Puskesmas di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi DIY, pada tahun 2016 – 2017. Sejumlah temuan yang terungkap dari studi tersebut antara lain interaksi dengan orang dengan HIV dalam 12 bulan terakhir mengurangi peluang ketakutan terinfeksi sebesar 55%; tenaga kesehatan yang pernah mengikuti pelatihan memiliki kemungkinan 52% lebih kecil untuk memiliki ketakutan terinfeksi HIV; tenaga kesehatan yang pernah mengikuti pelatihan berpeluang 2x lebih besar untuk menolak memberikan pelayanan kepada popkun dibandingkan nakes yang tidak pernah mengikuti pelatihan; dan peluang tindakan diskriminasi lebih besar dilakukan tenaga kesehatan di rumah sakit dibandingan dengan di Puskesmas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Skip to content