Search
Close this search box.

Rilis Pers: Hari Anti Kekerasan terhadap Pekerja Seks: Kerangka Hukum Harus Lindungi Pekerja Seks sebagai Populasi Kunci Penanggulangan HIV-AIDS

Setiap tanggal 17 Desember diperingati sebagai hari internasional untuk mengakhiri kekerasan terhadap pekerja seks. Hari ini diperingati untuk bersama-sama mengorganisasikan penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap pekerja seks. Pekerja Seks mengambil peranan penting dalam penanggulangan HIV – AIDS di Indonesia, di satu sisi ada aspek privasi yang merupakan hak warga negara, maka negara harus menjamin perlindungan pekerja seks dari kekerasan.

Dalam kerangka kebijakan penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia, sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, dalam Pasal 10 ayat (7) bahwa salah satu populasi kunci penanggulangan HIV AIDS adalah pekerja seks langsung maupun tidak langsung dan pelanggan atau pasangan pekerja seks. Dalam kerangka penanggulangan HIV AIDS di Indonesia, prinsip penanggulangan HIV AIDS adalah melibatkan peran aktif populasi kunci dan ODHA serta orang-orang yang terdampak HIV dan AIDS. Sesuai dengan Pasal 13 ayat (4) Peraturan Menteri Kesehatan tersebut disebutkan bahwa salah satu bentuk pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual adalah peningkatan peran pemangku kepentingan yang ditujukan untuk menciptakan tatanan sosial di lingkungan populasi kunci yang kondusif. Ini berarti negara berkewajiban untuk menjadi kehidupan yang kondusif bagi populasi kunci salah satunya pekerja seks. Dalam Pasal 51 ayat (1) juga dijelaskan bahwa masyarakat juga dapat berperan dalam penanggulangan HIV dan AIDS dengan mencegah terjadinya stigma dan diskriminasi terhadap komunitas populasi kunci, maka demikian negara dan masyarakat wajib menghindarkan praktik diskriminasi dan kekerasan kepada pekerja seks di Indonesia. 

Berdasarkan Data Estimasi Jumlah Populasi Kunci Terdampak HIV Tahun 2012 oleh Kementerian Kesehatan (2014) dijelaskan estimasi jumlah wanita pekerja seks langsung pada estimasi tertinggi berjumlah 143.996 orang, pekerja seks perempuan tidak langsung estimasi tertinggi berjumlah 128.338 orang. Sedangkan estimasi tertinggi pelanggan pekerja seks perempuan mencapai 6.024.444 orang. Tidak dapat dihindari bahwa praktik ini harus dilindungi dalam kerangka penaggulangan HIV AIDS di Indonesia. 

Pusat Penelitian HIV AIDS UNIKA Atma Jaya – Pusat Unggulan Kebijakan dan Inovasi Sosial (PPH) dalam penelitian BERDAYA: A Study on Empowerment of Sex Worker Community in Indonesia melakukan survei terhadap total 500 pekerja seks di Indonesia yang terdiri dari 324 orang pekerja seks perempuan, 50 orang pekerja seks laki-laki dan 126 orang pekerja seks transgender menemukan hampir seluruh pekerja seks yaitu 498 responden menyatakan pernah mengalami kekerasan dalam bentuk fisik, seksual, ekonomi, verbal dan struktural dalam bentuk razia. 9,24% yang melaporkan kekerasan mengakui mengalami kekerasan fisik dalam setahun terakhir. 43% responden menyatakan kekerasan tersebut terjadi di rumah mereka. Kekerasan seksual dialami paling banyak oleh pekerja seks transgender, diikuti oleh pekerja seks laki-laki kemudian pekerja seks perempuan. 54% pelaku kekerasan seksual dilakukan oleh pelanggan pekerja seks. Penelitian ini juga mencermati masalah stigma terhadap pekerja seks mengakibatkan kekerasan dan tindakan diskriminatif. 

Di satu sisi, banyak ketentuan-ketentuan karet dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang diimplementasikan secara serampangan mengkriminalisasi pekerja seks. Sebagai catatan, saat ini dalam kerangka hukum nasional tidak ada ketentuan apapun yang dapat mempidana perbuatan diri sendiri memberikan jasa seks. Namun dalam implementasi pasal karet sering diartikan oleh aparat penegak hukum dan masyarakat seolah-olah Indonesia mengkriminalisasi pekerja seks. Misalnya dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU ITE tentang publikasi konten melanggar kesusilaan. Dalam praktik penegakan hukum sering digunakan untuk menjerat pekerja seks dengan narasi kriminalisasi “prostitusi online” pekerja seks dituduh menyebarkan konten yang melanggar kesusilaan. Padahal sedari awal rumusan Pasal 27 ayat (1) UU ITE bermasalah. 

Penjelasan dalam Pasal 27 ayat (1) tidak secara eksplisit merujuk pada ketentuan dalam KUHP. Padahal dalam UU No. 19 tahun 2016 tentang Revisi UU ITE menyatakan Pasal 27 ayat (3) merujuk pada ketentuan KUHP. Jika Pasal 27 ayat (1) harus merujuk pada ketentuan KUHP, maka tidak ada perbuatan yang dapat mengkriminalisasi. Hubungan seksual dalam ranah privat berbasis persetujuan seharusnya sama sekali tidak dapat dipidana. 
 
Tidak hanya dalam UU ITE, bayang-bayang kriminalisasi pekerja seks juga dimuat dalam UU Pornografi. Pasal-pasal dalam UU Pornografi misalnya terkait dengan larangan menjadi model muatan pornografi sering menjerat pekerja seks, padahal terdapat aspek penting dalam perumusan UU Pornografi dengan pengecualiannya. Dalam pembahasan UU Pornografi, dijelaskan arti penting pengaturan pornografi adalah unsur mengkriminalisasi pornografi hanya apabila dilakukan di ruang publik. Hal ini pun juga sudah dimuat dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) dan juga Pasal 6 tentang pornografi dikecualikan untuk kepentingan sendiri. Seharusnya dalam konteks ruang privat berbasis persetujuan tidak dapat dijerat dengan UU Pornografi. Upaya mengkriminalisasi pekerja seks juga muncul dalam pembahasan RKUHP dalam pasal spesifik ataupun dalam kriminalisasi semua bentuk hubungan seks di luar perkawinan. 

Penanggulangan HIV dengan sasaran kunci pekerja seks tidak akan diselenggarakan jika stigma, diskriminasi dan kriminalisasi mengancam pekerja seks. Kekerasan terhadap pekerja seks rentan terjadi karena kerentanan relasi kuasa yang dimiliki antara pelaku kekerasan dengan pekerja seks. Ancaman kriminalisasi memperburuk situasi ini, kriminalisasi pekerja seks dapat menghambat pekerja seks untuk mencari perlindungan aparat penegak hukum atas kekerasan yang dialaminya. Untuk itu diperlukan mekanisme perlindungan dan pemulihan korban kekerasan sekesual yang diatur secara komprehensif.

Sebagai catatan juga, saat ini Indonesia belum sepenuhnya memiliki kerangka hukum yang komprehensif untuk perlindugan dan pemulihan bagi korban kekerasan, dipastikan pada pekerja seks kondisi akan makin buruk.

Maka, menjadi penting bagi pemerintah dan DPR untuk:

  1. Pemangku kebijakan harus memastikan mekanisme perlindungan dan pemulihan korban kekerasan termasuk di antaranya bagi kelompok pekerja seks
  2. Aparat penegak hukum harus memahami perlindungan hak atas privasi dalam hukum pidana, tidak ada pemidanaan yang dapat diberlakukan bagi hubungan seksual dalam ruang privat berbasis persetujuan, kekerasan yang menimpa pekerja seks harus diusut tanpa stigma dan diskriminasi
  3. Pemerintah dan DPR perlu memperbaiki peraturan perundangan yang bermasalah dari segi rumusan dan implementasi, yaitu UU ITE dan UU Pornografi


Hormat Kami, 
ICJR dan PUI-PT PPH UNIKA Atma Jaya

Narahubung:
Maidina R. – Peneliti ICJR (085773825822)
Armadina AZ – Media Officer PPH UNIKA Atma Jaya (0856-9560-0104)
Caroline Thomas – Advocacy Officer PPH UNIKA Atma Jaya (0897-4295-105)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Skip to content