Tantangan dan Peluang Layanan Kesehatan Jiwa Masyarakat

Dalam rentang lima tahun (2013 – 2018), prevalensi orang dengan masalah kesehatan jiwa pada penduduk di atas 15 tahun terus mengalami peningkatan. Jika diestimasi melalui triangulasi data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), dapat diperkirakan ada sekitar 19 juta orang pada kelompok umur tersebut yang mengalami gangguan mental emosional, dan hampir 12 juta mengalami depresi. Sayangnya, tingginya prevalensi depresi dan gangguan emosional ini tidak diikuti ketersediaan layanan pengobatan yang memadai. Data Riskesdas di tahun 2018 mengungkapkan bahwa dari hampir 12 juta orang penderita depresi hanya 9% atau sekitar 1 juta orang penderita depresi yang memperoleh pengobatan. Hal ini kemudian diperparah dengan kurangnya kesadaran akan pentingnya upaya promotif dan preventif untuk menekan stereotip, stigma maupun diskriminasi yang terjadi di seputar isu kesehatan jiwa. Misalnya saja olok-olok “orang gila”, “sinting”, “miring”, “kurang bersyukur sih!”, “kamu lemah”, dan lain sebagainya.

Tantangan demi tantangan merintang di depan mata terkait isu ini, tetapi peluang pun tidak boleh luput dari pandangan. Sehubungan dengan hal tersebut, Pusat Penelitian HIV/AIDS UNIKA Atma Jaya (PPH UAJ) menyelenggarakan Lecture Series bertema “Tantangan dan Peluang Layanan Kesehatan Jiwa Masyarakat” pada penghujung September lalu (30/9). Dengan tujuan utama untuk meningkatkan kesadaran tentang situasi gangguan kejiwaan di Indonesia dan situasi layanan kesehatan jiwa masyarakat serta aktivasi demand generation akses layanan kesehatan jiwa di Puskesmas, Lecture Series ini menggandeng empat srikandi penggiat isu kesehatan jiwa. Mereka adalah Ines yang mewakili Komunitas Into The Light; Anna Deasyana, seorang Psikolog Klinis Puskesmas Kecamatan Mampang Prapatan; Reneta Kristiani, M.Psi, Psikolog sekaligs Koordinator Layanan Psikologis Fakultas Psikologi UNIKA Atma Jaya; dan Dokter Lina R.Mangaweang dari direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza.

“Saya adalah salah seorang penyintas bunuh diri, namun telah melewati masa-masa itu. Saat ini saya aktif dalam Into the Light, selama berkecimpung dalam isu ini kami masih menghadapi persoalan stigma di masalah kesehatan jiwa. Stereotip yang datang kepada penyintas juga kerap datang dari petugas kesehatan yang ternyata masih melihat seseorang yang memiliki masalah kesehatan jiwa dari tanda-tanda atau ciri fisik yang ia miliki sehingga perlu ada pemerataan pengetahuan mengenai kesehatan jiwa”, tutur Ines dalam rangkaian presentasinya.

Anna Deasyana sebagai Psikolog yang bertugas di Puskesmas turut berbagi tantangan yang dihadapi, “Tantangan tentu selalu ada, antara lain stigma tentang kesehatan jiwa, masalah komunikasi, kurangnya pengetahuan kesehatan jiwa bukan hanya pada masyarakat secara umum tetapi benar juga masih ada tenaga kesehatan di Puskesmas yang mungkin belum terlalu familier tentang hal ini, selain itu juga jumlah kegiatan yang menyasar pada isu kesehatan jiwa versus jumlah SDM -Sumber Daya Manusia- yang masih kurang.”

“Saat ini baru ada 21 Psikolog di 21 Puskemas dari 44 Puskesmas Kecamatan di Jakarta. Kami masih terus berusaha, membuat penyuluhan dan kegiatan terkait masalah kesehatan jiwa dan sejauh ini meskipun perlahan, mereka yang datang ke kegiatan-kegiatan kami sudah mulai aware dengan masalah ini. Jadi menurut saya hal ini tidak hanya bisa dilihat sebagai tantangan, namun juga peluang dalam pengembangan dan perluasan penyebaran pengetahuan serta penanganan masalah kesehatan jiwa, karena kami juga mulai aktif bekerja sama dengan Poli-poli lain seperti Poli Lansia, Poli HIV-IMS, PKPR Remaja, Poli Tubercolosis, hingga Layanan Puskesmas 24 jam”, lanjut Anna.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) yang diwakili oleh Dokter Lina R. Mangaweang selaku Kepala Sub-Direktorat Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja kemudian menjelaskan tentang strategi pengembangan problematika Kesehatan Jiwa Masyarakat. Dalam hal ini setidaknya ada enam strategi utama yang dilakukan Kemenkes RI, yakni 1). Penguatan koordinasi lintas program dan lintas sektor dalam penanggulangan masalah kesehatan jiwa masyarakat – termasuk MoU dengan Kementerian Sosial; 2). Melanjutkan upaya untuk integrasi layanan kesehatan jiwa di fasilitas kesehatan primer dan sekunder; 3). Melanjutkan upaya terintegrasi keswa dalam pemberdayaan keluarga dan masyarakat (Desa Siaga, TPKJM dan UKS); 4). Meningkatkan kerjasama dalam memenuhi kebutuhan akan data/informasi/evaluasi keswamas; 5).Penguatan peran profesional lain terkait keswamas; dan 6). Promosi kesehatan jiwa untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan menurunkan stigma.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Skip to content