Terdapat ketimpangan yang signifikan pada pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia. Hal ini berdampak besar pada layanan kesehatan jiwa di luar Pulau Jawa. Rasio tenaga kesehatan jiwa dengan jumlah penduduk menunjukkan lemahnya sistem kesehatan kita. Saat ini, satu tenaga kesehatan jiwa harus melayani sekitar 200.000 penduduk yang berpotensi membutuhkan penanganan kesehatan jiwa. Hal ini memperlihatkan betapa rapuhnya infrastruktur kesehatan jiwa, khususnya di wilayah terpencil seperti Nusa Tenggara Timur, yang seringkali terabaikan dalam distribusi sumber daya kesehatan. Bagaimana realitas di lapangan? Seperti apa penanganan kesehatan jiwa di Nusa Tenggara Timur?
COP Kesehatan Jiwa Masyarakat mengangkat isu ini untuk Sharing Session. Kami mengundang Maria Yosepha Kurnia. Beliau adalah Pejabat Fungsional Epidemiologi di Dinas Kesehatan Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Maria Yosepha Kurnia, ramah dengan nama panggilan Ibu Nona, berbagi pengalaman dan tantangan dalam menangani gangguan kesehatan jiwa di Kabupaten Ngada, Flores.
Ketimpangan tenaga kesehatan untuk orang dengan gangguan jiwa
Dalam Sharing Session tersebut, Maria Yosepha Kurnia menjelaskan berbagai kendala yang dihadapi dalam penanganan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Kabupaten Ngada. Salah satu tantangan utama adalah minimnya sumber daya manusia, yaitu tidak adanya psikiater atau psikolog di wilayah tersebut. Untuk mengatasi hal ini, pelatihan diberikan kepada tenaga kesehatan umum, termasuk dokter dan perawat, untuk menangani ODGJ. Selain itu, keterbatasan obat-obatan juga menjadi masalah signifikan, seringkali menyebabkan kekambuhan pada pasien. Meskipun demikian, upaya penanganan ODGJ terus membutuhkan dukungan lintas sektor, meski hasilnya masih jauh dari optimal. Maria juga menyoroti stigma negatif yang masih kuat terhadap ODGJ di masyarakat. Pemasungan dan penanganan serupa masih sering terjadi. Upaya untuk membebaskan pasien dari pasung terus dilakukan, meski tantangan besar masih ada, terutama dalam hal koordinasi lintas sektor dan ketersediaan sumber daya yang memadai.
Dukungan sosial sebagai penanganan gangguan jiwa
Salah satu hal penting dalam penanganan gangguan kesehatan jiwa adalah dukungan sosial, baik untuk kedua pasien dan keluarganya. Salah satu usulan penting yang muncul adalah pembentukan kelompok dukungan sebaya (peer support groups) yang belum ada di Kabupaten Ngada. Maria mengakui bahwa ide ini menjadi saran berharga. Ia akan berusaha memprioritaskan implementasi dukungan sebaya. Sayangnya, ia juga menyadari tantangan besar dalam membentuk kelompok dukungan sebaya ini. Keterbatasan sumber daya dan infrastruktur, terutama pada akses komunikasi adalah rintangan besar.
Kolaborasi lintas sektor untuk penanganan gangguan jiwa
Diskusi menyinggung pentingnya kolaborasi lintas sektor dan perlunya dukungan dari pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas penanganan kesehatan jiwa. Pengalaman dari Yogyakarta, yang sudah memiliki sistem penanganan kesehatan jiwa yang lebih terstruktur hingga tingkat desa, dijadikan contoh yang bisa diadaptasi di Ngada. Peserta diskusi juga menekankan perlunya kebijakan lokal yang mendukung penanganan kesehatan jiwa, termasuk kemungkinan pembentukan Peraturan Daerah (Perda) yang khusus mengatur tentang kesehatan jiwa.
Untuk penanganan gangguan kesehatan jiwa yang efektif
Maria menggambarkan tantangan besar Kabupaten Ngada dalam menangani gangguan kesehatan jiwa, mulai dari keterbatasan tenaga ahli, stigma sosial, hingga kurangnya koordinasi lintas sektor. Meski demikian, semangat untuk memperbaiki situasi tetap hadir. Maria, Dinas Kesehatan, dan masyarakat Ngada memiliki rencana untuk menangani orang dengan gangguan jiwa lebih baik. Rencana seperti pembentukan kelompok dukungan sebaya dan kolaborasi dengan berbagai pihak menjadi prioritas. Dukungan dari pemerintah daerah dan kebijakan yang mendukung juga menjadi faktor kunci dalam mewujudkan layanan kesehatan jiwa yang lebih inklusif dan efektif di Kab. Ngada, NTT.