Indonesia memiliki tantangan besar dalam sumber daya kesehatan jiwa. Kebutuhan tenaga kesehatan jiwa di Indonesia tidak sejalan dengan jumlah dan kompetensi yang tersedia. Dalam segi jumlah, terdapat ketimpangan yang signifikan. Rasio antara jumlah tenaga kesehatan jiwa dan penduduk Indonesia menunjukkan bahwa satu tenaga kesehatan jiwa harus melayani sekitar 200.000 penduduk yang membutuhkan penanganan kesehatan jiwa. Ketimpangan ini bisa merambat kepada ancaman tak kasat mata bagi tenaga kesehatan jiwa sendiri, yaitu vicarious trauma atau trauma sekunder. Apa itu vicarious trauma? Seberapa besar dampaknya bagi kader kesehatan jiwa di Indonesia
COP Kesehatan Jiwa Indonesia mencoba mengangkat ancaman tersembunyi melalui Sharing Session bersama Hizkia Yolanda dari London School of Health and Tropical Medicine, King’s College London. Ia menjelaskan Vicarious Trauma pada Kader Kesehatan Jiwa di Indonesia. Kader kesehatan jiwa adalah garda terdepan penanganan masalah kejiwaan dan gangguan mental di Indonesia.
Apa Itu Vicarious Trauma?
Vicarious trauma, atau trauma sekunder, adalah kondisi trauma akibat dari paparan cerita dan pengalaman traumatis dari orang lain. Tenaga kesehatan jiwa seperti psikolog, psikiater, dan kader kesehatan jiwa sangat rentan terhadap trauma ini. Saat mereka terpapar cerita traumatis dari klien, hal ini mempengaruhi cara pandang mereka terhadap diri sendiri, lingkungan, dan nilai-nilai yang mereka pegang. Hal ini dapat menyebabkan kelelahan emosional hingga perubahan dalam pola pikir dan respons emosional.
Sayangnya, banyak kader kesehatan jiwa mengabaikan kondisi ini. Mereka menganggap vicarious trauma sebagai konsekuensi dari pekerjaan, dan cenderung menormalisasi trauma ini. Padahal, tanpa penanganan lebih lanjut, kader kesehatan jiwa dapat mengancam kesejahteraan dirinya. Lebih dari itu, vicarious trauma yang tidak ditangani merupakan ancaman bagi sistem kesehatan nasional yang sudah rentan sedari awal.
Kader Kesehatan Jiwa di Indonesia dan Vicarious Trauma
Kader kesehatan jiwa di Indonesia biasanya adalah masyarakat umum. Mereka mendapatkan pelatihan untuk memberikan intervensi sederhana kepada orang dengan masalah kejiwaan. Kader-kader ini mampu menjangkau lebih banyak orang membutuhkan layanan kesehatan mental, terutama di daerah dengan tenaga profesional seperti psikolog dan psikiater terbatas
Namun, keterlibatan mereka dalam menangani kasus-kasus kesehatan jiwa membuat semakin kader rentan. Umumnya, mereka tidak memiliki latar belakang profesional di bidang kesehatan mental. Hal ini memosisikan mereka dalam risiko vicarious trauma yang tinggi. Mereka tidak tahu bagaiman mengelola emosinya ketika mendengarkan cerita-cerita traumatis. Paparan trauma seperti kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, hingga keinginan bunuh diri dapat memberikan beban emosi yang tinggi. Bagi kader dengan pengalaman serupa, cerita ini dapat memicu kembali trauma pribadi mereka, memperberat beban emosional yang mereka pikul.
Selain itu, kader kesehatan jiwa sering kali bekerja denganpengawasan yang minimal. Banyak dari mereka tidak mendapatkan ruang aman untuk bercerita, rujukan layanan kesehatan, hingga bahkan dukungan emosional. Kondisi ini memperparah risiko, serta membuat mereka semakin rentan terhadap stres emosional.
Penanganan vicarious trauma pada kader kesehatan jiwa
Seperti bola salju, masalah vicarious trauma dapat mengancam keseluruhan sistem kesehatan untuk penanganan kesehatan jiwa di Indonesia. Kader kesehatan jiwa dengan trauma ini dapat mengurangi kinerja mereka dalam intervensi. Maka dari itu, menjaga kesehatan mental kader adalah kunci untuk memastikan pelayananan yang optimal.
Terdapat beberapa upaya untuk menangani trauma ini. Pertama, penting untuk memberikan pemantauan dan pendampingan yang empatik untuk kader. Pemantauan dan pendapingan yang teratur dapat menjadi ruang bagi kader untuk mendiskusikan pengalaman-pengalaman sulit mereka. Kedua, membentuk lingkaran dukungan sebaya atau sejawat di antara sesama kader kesehatan jiwa. Melalui lingkaran dukungan ini, mereka dapat saling berbagi, memberikan dukungan, dan meregulasi emosi secara lebih efektif. Terakhir, memastikan akses ke layanan kesehatan jiwa bagi kader kesehatan jiwa sendiri menjadi langkah yang krusial. Ketika kader mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan, mereka akan lebih siap secara emosional untuk membantu orang lain tanpa mengorbankan kesejahteraan mental mereka sendiri.
Kesejahteraan kader kesehatan jiwa di Indonesia
Vicarious trauma adalah risiko nyata yang dihadapi oleh kader kesehatan jiwa di Indonesia. Paparan cerita traumatis dari klien membuat mereka rentan terhadap kondisi ini, terutama karena pemantauan dan pendampingan yang minimali. Penting bagi kita untuk memberikan perhatian lebih pada kesehatan mental para kader kesehatan jiwa, baik melalui pemantauan, lingkaran dukungan sebaya atau sejawat, dan akses ke layanan kesehatan jiwa. Upaya ini merupakan langkah awal untuk menjaga kesejahteraan kader sekaligus memastikan kualitas pelayanan kesehatan jiwa yang mereka berikan.