Benar sejak dalam pikiran terhadap anak dengan HIV

Benar sejak dalam pikiran terhadap anak dengan HIV. Diskusi Kultural untuk Anak dengan HIV di Indonesia
Diskusi Kultural untuk Anak dengan HIV di Indonesia

Narasi melalui berita yang benar adalah langkah yang baik untuk memperkenalkan isu anak dengan HIV di Indonesia. Narasi yang benar dapat memengaruhi banyak orang untuk memiliki buah pikiran yang positif, hingga membangun paradigma yang empatik terhadap anak dengan HIV. Sayangnya, narasi publik tentang anak dengan HIV masih jauh dari kata benar

Narasi yang buruk melalui framing berita yang keliru, reduksi pengalaman menjadi angka statistik, dan tidak memihak anak dengan HIV adalah awal mula stigma dan diskriminasi.  Media memiliki peran krusial dalam membentuk opini publik. Akibatnya, pengetahuan publik tentang anak dengan HIV seringkali keliru. Pembiaran stigma ini menghasilkan diskriminasi kepada anak dengan HIV; membatasi hak mereka sebagai warga negara untuk mengakses layanan publik. Paradigma yang terbentuk bukannya bersifat empatik, melainkan ekslusi. Bagaimana kita bisa mengatasi ini?

Diskusi Kultural untuk Anak dengan HIV di Indonesia bersama Aliansi Nasional untuk Anak dengan HIV mengajak kita, terutama rekan jurnalis dan media, untuk benar sejak dalam pikiran. Benar dalam mengangkat cerita dan pengalaman tangan pertama dari anak dengan HIV dengan empatik. Diskusi ini mengundang Natasya Sitorus dari Aliansi Nasional untuk Anak dengan HIV dan Purnama Ayu Rizky dari Magdalene.co

Bagaimana menuliskan berita tanpa melakukan stigma?

Pemberitaan tentang anak dengan HIV di Indonesia masih sangat menstigma. Temuan utama dari Purnama Ayu Rizky adalah media masih mengabaikan sudut pandang orang dengan HIV, terutama anak-anak, dalam liputannya. Terdapat beberapa cara yang bisa jurnalis lakukan untuk memperbaiki kondisi ini.

Natasya Sitorus membuka diskusi ini dengan mengimbau betapa pentingnya penggunaan istilah yang tepat untuk menyebut seseorang yang hidup dengan HIV. Penggunaan kata seperti ‘penderita HIV’, ‘pengidap HIV’, ‘penderita AIDS’, ‘korban AIDS’ sudah seharusnya hilang dalam tulisan-tulisan publik. Istilah di atas menempatkan orang yang hidup dengan HIV sebagai ‘korban’. Paradigma yang terbentuk dari konotasi ini adalah bahwa orang yang tertular HIV sebagai ‘hukuman’ atas ‘dosa’ perbuatannya melakukan tindakan yang tidak pantas. Daripada menggunakan istilah tersebut, istilah seperti ‘orang dengan HIV’, ‘anak dengan HIV’, dan ‘orang yang hidup dengan HIV’ lebih ramah dan inklusif. Istilah di atas, tanpa perlu disingkat, menyiratkan seseorang yang hidup dengan kondisi kesehatan tertentu.

Jurnalisme seharusnya memihak kepada kelompok marjinal dan mengamplifikasi suara mereka. Terdapat dua cara untuk jurnalis memihak kepada anak dengan HIV. Pertama adalah jurnalisme empatik. Berdasar pada tujuan untuk me-manusia-kan manusia, jurnalisme empatik menempatkan cerita dan pengalaman anak dengan HIV sebagai inti tulisan. Kedua adalah jurnalisme konstruktif. Bersifat tajam ke atas, jurnalisme menawarkan solusi kritis kepada pemerintah, sekaligus mengajak masyarakat untuk terlibat dalam amplifikasi isu anak dengan HIV. 

Purnama Rizky sebagai perwakilan dari Magdalene.co menawarkan sudut-sudut yang untuk membingkai isu anak dengan HIV dalam produk jurnalisme:

  1. Bagaimana perjuangan kelompok masyarakat mengikis stigma dengan usaha masing-masing: Membuat rumah singgah, ruang aman, literasi publik, kampanye media sosial.
  2. Memberikan contoh kisah yang menginsipirasi tentang perjuangan anak dengan HIV  bangkit.
  3. Mengritisi peran negara, institusi kesehatan, institusi sekolah, institusi agama, dan masyarakat: Apakah mereka sudah hadir dalam masalah ini?
  4. Memberikan informasi yang edukatif sesuai dengan pedoman pemberitaan ramah anak, kode etik jurnalistik dari Dewan Pers, atau konstituen pers di Indonesia.

Bagaimana lanskap berita tentang anak dengan HIV sekarang?

Pemberitaan tentang anak dengan HIV di Indonesia masih sangat menstigma. Selain pengabaian sudut pandang anak dengan HIV, beragam framing berita berujung pada penyudutan anak dengan HIV. Beragam penyudutan anak dengan HIV seperti:

  1. Mayoritas pemberitaan anak dengan HIV masih seputar angka.
  2. Pelanggenagn stigma dan diskriminasi, seperti bahwa HIV adalah aib, dosa karena perilaku seks menyimpang, dan bukan orang baik-baik.
  3. Jurnalis lebih banyak mengutip narasumber resmi, tapi kurang mengakomodasi suara orang dengan HIV.
  4. Kurangnya kritik terhadap negara atas intervensi negara. Contohnya penyediaan akses terhadap ARV, fasilitas kesehatan, pendidikan literasi di sekolah dan masyarakat.
  5. Kurangnya berita yang konstruktif dan memberdayakan anak dengan HIV

Penyudutan ini tentu saja perlu memerhatikan kondisi produksi berita yang berorientasi kepada profit. Untuk menghasilkan profit, suatu tulisan perlu menghasilkan click, view, dan engagement. Jurnalis butuh menuliskan tulisan yang banyak untuk ia bisa menghasilkan keuntungan dari hasil konversi ketiga indikator tersebut.

Ketiga indikator tersebut dapat tercapai jika tulisan tersebut memikat perhatian publik dan mendorong publik mengakses tulisan tersebut. Dengan demikian, tulisan harus mengikuti kemauan publik; apa yang publik ingin lihat. Purnama Ayu berpendapat bahwa isu anak dengan HIV tidak menarik perhatian. Di sisi lain, untuk bisa mengangkat isu anak dengan HIV, jurnalis memilih untuk menggunakan clickbait berupa headline sensasional dengan istilah-istilah menstigma. Target untuk menghasilkan profit dari sekian banyak tulisan mendorong jurnalis memilih jalan pintas ini. 

Tidak dipungkiri bahwa jurnalis juga memiliki bias terhadap suatu isu. Posisi politis juga memengaruhi bagaimana jurnalis menghasilkan tulisan, terutama tentang anak dengan HIV. Bias ini juga sebenarnya adalah hasil dari narasi publik yang keliru. Jurnalis sudah memiliki paradigma keliru tentang anak dengan HIV, yang lalu berujung pada diskriminasi melalui hasil tulisannya. Ditambah dengan beban kerja berorientasi profit, stigma dalam pikirannya terus langgeng. Lingkaran setan yang terus berulang. 

Jurnalisme yang mengedepankan anak dengan HIV

Jurnalisme yang berorientasi pada solusi dan kemanusiaan adalah kunci untuk memutus stigma terhadap anak dengan HIV. Media harus mampu mengajak berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, sekolah, dan institusi keagamaan untuk aktif terlibat dalam menciptakan ruang yang aman dan inklusif bagi anak-anak dengan HIV. Pemberitaan yang konstruktif dan edukatif dapat memberikan dampak positif yang jauh lebih besar dibandingkan sekadar mengejar klik atau sensasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Skip to content