Kehamilan tidak selalu membawa kabar gembira bagi perempuan. Hampir setengah dari semua kehamilan di dunia terjadi tanpa direncanakan. Sekitar 60% dari kehamilan tersebut berakhir dengan keputusan terminasi kehamilan (aborsi). Dengan adanya berbagai pembatasan, 45% perempuan melakukan aborsi secara tidak aman. Di Indonesia, antara 2015-2019, terdapat sekitar 7.910.000 kehamilan setiap tahun, dengan 36% di antaranya tidak diinginkan. Dari kehamilan yang tidak diinginkan tersebut, 63% diakhiri dengan aborsi. Studi tahun 2020 menunjukkan bahwa di Pulau Jawa, estimasi angka aborsi mencapai 42,5 per 1.000 perempuan, dengan 73% perempuan melakukan terminasi secara mandiri dan hanya sebagian kecil melibatkan tenaga medis atau penyedia layanan tradisional
Dari gambaran kondisi di atas, ada kebutuhan terhadap layanan terminasi kehamilan yang aman bagi perempuan dengan kondisi mendesak. Forum Diskusi Ilmiah Nasional oleh PPH UAJ kali ini akan membahas mengenai Peluang dan Tantangan Layanan Terminasi Kehamilan di Indonesia. Kami mengundang Nanda Dwinta Sari dari Yayasan Kesehatan Perempuan; Amalia Puri Handayani dari PPH UAJ; Budi Utomo dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia; dan Astuti dari Direktorat Kesehatan Usia Produktif dan Lansia, Kementerian Kesehatan RI.
Lydia Verina Wongso memoderasi diskusi kali ini. Diskusi berlangsung secara daring pada 9 Agustus 2024.
Kesenjangan kebijakan layanan terminasi kehamilan
Terdapat kesenjangan besar antara kebijakan dengan implementasi layanan terminasi kehamilan. Nanda Dwinta Sari menyoroti masalah kriminalisasi terhadap perempuan dan tenaga medis. Kebijakan yang berlaku saat ini masih menghambat akses terhadap layanan aborsi aman, terutama bagi korban kekerasan seksual. Nanda menekankan pentingnya perlindungan hak-hak perempuan dalam pengambilan keputusan terkait aborsi, serta percepatan pengeluaran peraturan teknis dari Undang-Undang Kesehatan dan KUHP baru guna melindungi korban.
Variasi pola pencarian layanan aborsi oleh perempuan
Tantangan terbesar adalah keterbatasan informasi, stigma sosial, dan hambatan hukum yang sering kali membuat perempuan mencari jalur yang tidak aman. Amalia Puri Handayani mengungkapkan hasil riset mengenai pola pencarian layanan terminasi kehamilan aborsi di Indonesia, yang menunjukkan adanya empat pola: konsultasi langsung ke klinik, bantuan pendamping, penggunaan pil aborsi, dan metode tradisional. Tantangan dalam mengakses layanan aborsi aman di Indonesia meliputi keterbatasan informasi, stigma sosial, hambatan hukum, serta ketergantungan pada pendamping.
Implementasi kebijakan di lapangan masih menjadi tantangan besar
Meskipun peraturan dan kebijakan sudah ada, penerapannya sering kali tidak optimal. dr. Budi Utomo menyoroti pentingnya penerapan kebijakan layanan terminasi kehamilan aborsi di Indonesia secara efektif. Ia menekankan bahwa akses layanan kontrasepsi yang baik dapat menekan angka kehamilan tidak diinginkan dan aborsi tidak aman. Namun, tantangan terbesar adalah efektivitas pelaksanaan kebijakan di lapangan, yang sering terhambat oleh faktor sosial dan teknis.
Regulasi teknis untuk akses layanan aborsi yang aman
Kementerian Kesehatan RI terus berupaya menyusun regulasi teknis yang mendukung akses layanan aborsi yang aman, dengan fokus pada kolaborasi lintas lembaga. Perwakilan Kementerian Kesehatan RI, Ibu Astuti, menyampaikan perkembangan kebijakan terkait terminasi kehamilan aborsi di Indonesia, termasuk aturan yang mencakup aborsi dalam kondisi darurat medis dan untuk korban kekerasan seksual, serta pentingnya kolaborasi lintas lembaga untuk memastikan tersedianya layanan aborsi aman dan bertanggung jawab.
Layanan terminasi kehamilan yang berpihak kepada perempuan
Kesenjangan antara kebijakan dan implementasi merupakan tantangan besar untuk layanan terminasi kehamilan di Indonesia. Meskipun terdapat regulasi yang mengatur aborsi dalam kondisi tertentu, seperti kasus perkosaan dan kondisi medis darurat, implementasi di lapangan masih menghadapi banyak tantangan. Stigma sosial, keterbatasan informasi, dan hambatan hukum membuat perempuan kesulitan mengakses layanan aborsi yang aman, sehingga seringkali memilih jalur yang berisiko. Penelitian menunjukkan adanya berbagai pola pencarian layanan aborsi, namun akses yang terbatas membuat perempuan rentan terhadap dampak negatif. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah membutuhkan upaya untuk lebih komprehensif. Hal ini termasuk sosialisasi kebijakan, peningkatan akses layanan kontrasepsi, serta perlindungan hukum bagi perempuan yang memilih untuk melakukan aborsi.
Implementasi kebijakan layanan terminasi kehamilan di Indonesia masih jauh dari ideal. Perempuan masih menghadapi banyak hambatan dalam mengakses layanan aborsi yang aman dan bertanggung jawab.