Dalam rangka memperingati Hari AIDS Sedunia 2024, PPH UAJ berpartisipasi dalam talkshow oleh Dinas Kesehatan Kota Tangerang. Talkshow kali ini membahas tentang permasalahan dan intervensi psikososial bagi orang yang hidup dengan HIV (ODHIV). Bertema “Hak Setara untuk Semua, Bersama Kita Bisa”, talkshow ini berlangsung di TangCity Mall, Kota Tangerang pada 25 November 2024. Talkshow ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memahami lebih dalam mengenai isu terkait HIV. Gracia “Sisi” Simanullang menjadi salah satu narasumber yang membahas mengenai “Rekomendasi Kebijakan untuk Intervensi Psikososial HIV”.
Dalam diskusi ini, Sisi menggambarkan masalah yang dihadapi oleh orang dengan HIV (ODHIV), termasuk anak dan remaja yang hidup dengan HIV (ADHIV), serta pengasuh mereka. Ia juga menyoroti tantangan psikososial yang mereka alami. Tantangan ini termasuk intervensi psikososial yang tersedia, serta bentuk pengembangan model intervensi untuk mengatasi masalah tersebut.

Masalah psikososial bagi anak, remaja, dan dewasa dengan HIV
ODHIV dan ADHIV menghadapi masalah psikososial mulai dari saat diagnosis, selama pengobatan, dan sepanjang perawatan mereka.
Ketika mendapatkan diagnosis, banyak yang merasa sedih, marah, bingung, cemas, dan takut tentang masa depan. Mereka khawatir tentang kematian, penolakan, serta stigma jika orang lain mengetahui status HIV mereka.
Selama pengobatan, mereka menghadapi tantangan lain, seperti beban harus minum obat antiretroviral (ARV) seumur hidup setiap hari, efek samping ARV, biaya pengobatan, dan kekhawatiran jika status mereka terbuka.
Banyak yang takut kehilangan akses pendidikan dan pekerjaan karena diskriminasi. Sebagian juga mengalami kekerasan dari teman atau pasangan. Masalah ini tidak hanya dialami oleh ODHIV dan ADHIV, tetapi juga oleh pengasuh, pasangan, dan orang tua yang merawat mereka.
Intervensi psikososial untuk orang dengan HIV
Berbagai program dan inisiatif mencoba mengatasi masalah psikososial ini. Dari praktisi kesehatan mental hingga organisasi masyarakat telah membantu mengembangkan program ini. Program ini termasuk layanan Konseling dan Tes Sukarela (VCT), dan konseling sebelum dan sesudah diagnosis. Organisasi masyarakat dan komunitas juga memberikan layanan psikologis yang bekerja sama dengan komunitas dan kelompok dukungan sebaya. Selain itu, banyak pegiat isu HIV memberikan edukasi tentang HIV, kesehatan reproduksi, dan pengasuhan bagi ADHIV dan pengasuh mereka. Sayangnya, layanan-layanan ini seringkali bergantung pada pendanaan dan hanya tersedia bagi kelompok tertentu.
Salah satu usulan model intervensi psikososial menggunakan kerangka sosial-ekologis. Pendekatan ini melibatkan intervensi pada berbagai tingkatan, mulai dari mikro (individu, keluarga, dan hubungan dekat) hingga makro (layanan kesehatan, sekolah, media massa, dan kebijakan). Model ini merekomendasikan penilaian kebutuhan psikososial oleh lintas profesi, pelatihan dasar konseling bagi masyarakat awam, diskusi interaktif dengan penyedia layanan kesehatan, serta penelitian berbasis komunitas mengenai isu psikososial. Model ini juga menekankan pentingnya kolaborasi antara berbagai pihak, termasuk kementerian, lembaga pemerintah dan swasta, serta komunitas ODHIV.
Intervensi psikososial untuk mengurangi stigma dan diskriminasi
Miskonsepsi tentang HIV menjadi salah satu sumber stigma dan diskriminasi terhadap ODHIV di Indonesia. Untuk menekan laju penularan HIV, setiap orang perlu memiliki pemahaman dasar tentang HIV. Tanpa pengetahuan yang tepat, stigma dan diskriminasi akan terus terjadi dan menghalangi akses layanan kesehatan. Selain itu, banyak orang yang merasa mereka tidak berisiko tertular HIV.
Bagi ODHIV, stigma memperburuk kondisi kehidupan mereka, membuat mereka takut mengungkapkan status HIV mereka, mengalami kesulitan ekonomi, dan kurangnya dukungan sosial. Intervensi psikososial bagi ODHIV dapat membantu mereka menjalani kehidupan yang lebih sehat dan layak serta mendapatkan hak yang setara dengan orang lain. Selain itu, intervensi psikososial dapat mendorong ODHIV untuk patuh dalam menjalani terapi ARV, mengurangi perilaku berisiko terhadap penularan, dan meningkatkan kualitas hidup mereka.