Tes dan Pengobatan HIV

Penulis: MPR UNIKA Atma Jaya

Jakarta, 7 April 2019 — HIV/ AIDS hingga kini masih menjadi momok tersendiri di kehidupan masyarakat Indonesia. Masih kental kepercayaan bahwa HIV dapat tertular dengan sentuhan, tukar pakaian atau handuk, dan ada juga yang percaya bahwa HIV dapat tertular melalui udara dan nyamuk. Padahal sebenarnya HIV hanya dapat menyebar melalui transfusi darah, jarum tato, jarum suntik, hubungan seks tanpa pengaman, kehamilan dan menyusui.

Ketakutan akan tertular mendorong orang untuk menjauhi dan berinteraksi seminim mungkin dengan orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Tanpa kita sadari, stigma itu membuat ODHA, atau bahkan orang hanya ingin memeriksakan diri, juga ikut menghindari kontak publik atau lebih menutup diri.  Rasa malu dan takut akan pandangan miring tentang dirinya, membuat ODHA lebih memilih untuk tidak memeriksakan dirinya.

Padahal sebetulnya amat penting untuk melakukan deteksi dini. Bagi penderita TBC misalnya, dengan melakukan pemeriksaan dini maka akan menentukan apakah yang bersangkutan HIV positif, dan jika terbukti maka obat anti retroviral (ARV) dapat membantu pengobatan HIV. Demikian juga dengan ibu hamil dengan HIV positif, agar dapat diberikan penanganan  sehingga penularan pada bayi dapat diminimalisir.

Pada acara lecture series, “Paham dan peduli HIV/AIDS” oleh Pusat Penelitian HIV/AIDS (PPH) Unika Atma Jaya, yang dilangsungkan Jumat lalu (5/4/19), dr. Elda P. Refianti Sutanto menekankan betapa pentingnya mengetahui status HIV melalui deteksi dini. Membahas ‘HIV: Tes dan Pengobatan’, dr. Elda menyampaikan selain agar dapat diberikan pengobatan terapi ARV, deteksi dini juga membantu ODHA yang mengetahui status HIV. Mengetahui stadium HIV dapat membantu menentukan bentuk perawatan yang akan diterima pasien dengan harapan kesehatan yang membaik.

“HIV bukan death sentence! Jika kita deteksi dini dan patuh mengkonsumsi anti virus,” tegas dokter yang pernah bergabung sebagai peneliti di PPH Unika Atma Jaya ini.

dr. Elda ingin agar masyarakat tidak lagi memberikan stigma kepada pengidap HIV, demi kebaikan bersama, “Jadi baik itu di Puskesmas maupun di Rumah Sakit, kita harus memperlakukan pasien secara sama. Seharusnya di tempat kerja pun seperti itu. Tapi mungkin masyarakat kita dan mungkin dari segi hukum, UU Ketenagakerjaan kita, belum secara kuat mengatur hal itu. Sehingga mungkin pasien HIV Positif diberhentikan karena dia positif HIV,” ujarnya. 

Lebih lanjut dokter yang sekarang tengah menjalankan dinas di RS. Misi Lebak, Rangkasbitung itu berujar bahwa sangat disayangkan kalau hanya karena stigma dari masyakat sehingga pasien HIV memilih untuk tidak atau berhenti melakukan terapi, “Kalau misalkan pengobatan yang kamu tidak mau berobat itu justru nanti stadium dari HIVnya akan terus berlanjut, dan nanti masalahnya bukan saya bisa kerja lagi atau tidak tapi saya bisa hidup atau tidak,” tegas dr. Elda. Dukungan keluarga, pasangan atau buah hati juga memberikan kontribusi dalam pengobatan pasien.

“Jangan pernah takut untuk mengetahui status HIV mu. Deteksi dini. Penanganan dini. Terus berlari meraih mimpi,” tutup dr. Elda. (HCR)

Dapatkan materinya dengan klik tombol unduh di bawah ini.


Artikel ini ini dimuat di https://www.atmajaya.ac.id/web/Konten.aspx?gid=highlight&cid=HIV-TES-DAN-PENGOBATAN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Skip to content