Penjangkauan LSM HIV di Masa Pandemi COVID-19

Berbagai persoalan dan tantangan muncul sebagai dampak dari pandemi COVID-19, mulai dari persoalan sosial, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Tantangan nyata juga dirasakan oleh lembaga-lembaga pelaksana program penanggulangan HIV dalam melakukan kegiatan penjangkauan (outreach) yang merupakan basis program mereka. Misalnya saja dengan peraturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang secara otomatis membatasi secara signifikan interaksi langsung dengan target penjangkauan. Hal ini tentu saja seakan mengubah dunia rekan-rekan yang menggeluti program penanggulangan HIV dengan metode penjangkauan. Mau tak mau, mereka harus memutar akal dan memeras otak untuk dapat memformulasikan strategi-strategi penjangkauan di masa pandemi COVID-19.

Kesadaran akan kondisi tersebut menjadi awal tercetusnya Lecture Series Virtual Pusat Penelitian HIV AIDS UNIKA Atma Jaya (PPH UAJ) kali ini. Dengan tajuk “Strategi Outreach Selama Pandemi: Strategi LSM untuk Tetap Menjalankan Program HIV Selama Masa Pandemi COVID-19”, PPH UAJ berupaya membuka ruang berbagi dan berdiskusi perihal strategi dan kendala penjangkauan yang dihadapi oleh LSM pelaksana program HIV. Dilaksanakan pada Rabu siang (10/06) secara virtual, kegiatan ini juga diharapkan dapat menemukan alternatif-alternatif pemecahan masalah terhadap kendala penjangkauan yag dihadapi selama masa pandemi ini.

Dipandu oleh Yohanes Gentar (Peneliti PPH UAJ), kegiatan ini menghadirkan 4 kawan perwakilan dari 4 LSM yang juga bergerak pada isu penanggulangan HIV, mereka adalah Wahyu Kresna (Manajer Program Yayasan Karisma, Juna Riston Damanik (Direktur Yayasan Pesona Jakarta), Muvita Sari (Kepala Bidang Pemberdayaan Masyarakat Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jakarta), dan Kamel (Manajer Program Yayasan Srikandi Sejati).

Di masa sebelum pandemi COVID-19 ada dua kata kunci dalam menjalankan metode penjangkauan, yaitu sifat pro-aktif petugas outreach (PO) dan pertemuan tatap muka. Penjangkauan sendiri pada dasarnya merupakan kegiatan berbasis masyarakat dengan tujuan utama untuk mendorong upaya peningkatan kesehatan dan pengurangan risiko terhadap penularan HIV bagi individu maupun kelompok yang secara efektif sulit dilayani oleh penyedia layanan kesehatan masyarakat pada umumnya[1], terutama kelompok-kelompok populasi kunci HIV. Kondisi tersebut mengharuskan PO untuk dapat pro-aktif menjangkau target layanan dengan memberikan informasi dan edukasi mengenai HIV serta perilaku yang berisiko menularkan HIV, mendorong perubahan perilaku berisiko, dan pendampingan terkait layanan kesehatan yang dapat mereka akses. Semua itu dilakukan secara tatap muka langsung. Oleh sebab itu, pandemi COVID-19 dan pelbagai peraturan yang menyertainya tentu saja seolah menjungkirbalikan strategi penjangkauan yang telah diakrabi selama ini.

Himbauan untuk menjaga jarak  (physical distancing) dan kebijakan PSBB yang membatasi mobilitas masyarakat, membuat kegiatan penjangkauan model konvensional cukup sulit untuk dilakukan. Improvisasi metode penjangkauan agar program terus berjalan pun dilakukan. Komunikasi melalui teleponm SMS, dan WhatsApp menjadi alternatif komunikasi yang sebelumnya dilakukan secara tatap muka. Akan tetapi, kendala tidak dapat dihindari. Biaya untuk pembelian pulsa atau paket data yang tidak sedikit, dampingan yang susah dihubungi, dampingan yang tidak memiliki alat komunikasi karena telah terpaksa menjualnya agar dapat menyambung hidup, hingga PO yang akhirnya harus kembali turun ke lapangan agar tidak kehilangan dampingan menjadi bagian dari masalah yang tidak bisa dianggap remeh semasa pandemi ini.

“Secara garis besar kami menyetujui kebijakan pemerintah dalam hal pembatasan layanan kesehatan seperti VCT atau prosedur pengobatan HIV, misalnya harus terdaftar atau melalui kelompok dampingan karena ini menyangkut kesehatan bukan hanya kepada klien atau ODHA itu sendiri tetapi juga untuk menjaga kesehatan para petugas medis. Dari situasi ini kami juga mendapat banyak pembelajaran, terutama menjadi lebih familiar dan banyak belajar menggunakan teknologi sebagai strategi-strategi outreach”, ungkap Juna Riston Damanik ketika ditanya perihal wacana pembatasan layanan kesehatan dan pembelajaran yang didapat semasa pandemi COVID-19.

Pembelajaran sekaligus strategi menarik juga dilakukan oleh Yayasan Karisma seperti yang dipaparkan Wahyu Kresna, “Kami memang mengalami kesulitan berkomunikasi secara langsung dengan klien karena berbagai alasan, jadi sebagian strategi yang kami lakukan adalah melakukan komunikasi dengan petugas layanan kesehatan, memberdayakan peer volunteer atau informan kunci untuk masing-masing spot, bergabung dalam grup WhatsApp yang berisikan klien hingga mengontak melalui media sosial.”

Interaksi virtual juga menjadi andalan cara kerja Yayasan Srikandi Sejati yang selama pandemi COVID-19 selalui melakukan absensi harian dalam grup WhatsApp dan menjangkau serta melakukan pendampingan virtual. “Dalam keadaan mendesak (urgent) kami tetap melakukan pendampingan langsung tetapi dengan protokol kesehatan terkait COVID-19. Kami juga selalu menyiapkan masker dan hand sanitizer bagi seluruh straf”, kata Kamel, Manajer Program Yayasan Srikandi Sejati.

Penyesuaian strategi implementasi program selama pandemi COVID-19 turut dilakukan oleh PKBI DKI Jakarta. Muvita Sari selaku Kepala Bidang Pemberdayaan Masyarakat menjelaskan, “PKBI sendiri melakukan sejumlah strategi implementasi program semasa pandemi ini, contohnya pemetaan dan analisa situasi wilayah kerja melalui aplikasi KoBo Toolbox, melalukan pelatihan virtual penjangkauan kepada petugas outreach dan peer leader, dukungan bantuan (sembako, hand sanitizer, masker, alat cuci tangan) untuk PSP (pekerja seks perempuan) hingga penguatan manajemen program untuk koordinator IU.”

Ragam tantangan dan kendala penjangkauan program HIV selama pandemi COVID-19 menguji kelenturan lembaga untuk dapat bertahan menjalankan program. Strategi-strategi baru yang bersandar pada pemaksimalan teknologi daring dilakukan. Strategi baru, improvisasi metode penjangkauan, pelbagai penyesuaian, semua hal tersebut pada akhirnya diamini dalam menumbuhkan kesadaran baru akan kebutuhan penyempurnaan-penyempurnaan program dan peluang pemanfaatan akses teknologi yang dapat sangat membantu kerja-kerja lembaga di masa mendatang.


[1] Rhodes, T., Holland, J. and Hartnoll, R. , Hard to Reach or Out of Reach? An Evaluation of an Innovative Model of HIV Outreach Health Education. . 1999, London: Tufnell Press.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Skip to content