Penyebaran COVID-19 masih jadi awan kelam yang menyelimuti hampir seluruh dunia, begitu pula di Indonesia. Pelbagai metode pengendalian masih terus diupayakan, tapi nampaknya tiap dari kita masih harus berjibaku dengan penantian panjang terputusnya mata rantai penularan COVID-19. Ragam persoalan dan tantangan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari akibat pandemi COVID-19 tidak hanya dihadapi oleh orang dewasa dari berbagai latar belakang sosial-ekonomi, namun juga memberikan pengaruh besar terhadap anak-anak. Sebuah penelitian global yang dilakukan oleh Save the Children pada bulan Juni-Juli 2020 lalu di 46 negara termasuk Indonesia menunjukkan kenyataan pahit. Di masa pandemi ini, anak-anak rentan menanggung permasalahan yang melingkupi tata kelola hak anak, kesehatan dan asupan gizi, pendidikan, perlindungan, dan kemiskinan. Dampak kerentanan berlipat ganda bagi anak-anak dengan kondisi ekonomi di bawah garis kemiskinan dan anak-anak dengan kondisi kesehatan khusus semisal anak dengan HIV.
Keresahan mendalam atas bentangan permasalahan tersebut menjadi batu pijakan PUI-PT Pusat Penelitian HIV AIDS UNIKA Atma Jaya (PPH) untuk menyelenggarakan Forum Diskusi Ilmiah Nasional bertajuk “Dampak Pandemi terhadap Anak dengan Kondisi Khusus”. Tujuan utama dari kegiatan ini ialah memperoleh gambaran menyeluruh mengenai permasalahan yang timbul akibat pandemi COVID-19 terhadap anak dengan kondisi khusus di Indonesia, terutama anak dengan HIV, anak jalanan, dan anak yang berisiko tinggi terjerat prostitusi. Memanfaatkan ruang pertemuan daring pada Jumat siang (29/01), PPH menggandeng empat orang pembicara dalam pelaksanaan forum diskusi ilmiah. Keempatnya adalah Catherine Thomas (Kandidat Doktor Fakultas Psikologi, UNIKA Atma Jaya), Endang Supriyanti (Yayasan Bandung Wangi), Jessica Hutting (Yayasan Kampus Diakoneia Modern), Riama Siringo (Lentera Anak Pelangi), dan dipandu oleh Caroline Thomas (Staf Advokasi PPH).
Keadaan pandemi COVID-19 memberikan dampak besar pada kehidupan anak dengan HIV. Catherine Thomas melalui pemaparannya yang bertajuk “Dampak COVID-19 pada Anak dengan HIV di Indonesia” menyoroti dampak terhadap kesehatan anak dengan HIV ke dalam empat kategori: Akses ARV; Self-Diagnose and Self-Medicate; Masalah Kuangan dan BPJS; dan Imunisasi. Belum lagi problematika terkait pemenuhan nutrisi harian anak dengan HIV yang turut terganggu selama masa pandemi. Bila ditelisik lebih dalam, kemunculan permasalahan-permasalahan ini bersumber dari beban ekonomi berganda yang mesti ditanggung oleh keluarga atau caregiver anak dengan HIV. Sebab, tidak sedikit dari mereka yang kehilangan sebagian atau seluruh pemasukan/pekerjaan. Situasi tidak menyenangkan yang terjadi pada anak dengan HIV juga dikemukakan oleh Riama Siringo. Sebagian besar anak dengan HIV memang diketahui ada dalam kondisi stabil dan tidak mempunyai keluhan kesehatan. Akan tetapi, beberapa anak selama pandemi ada yang harus menjalani perawatan di rumah sakit dan tercatat tiga orang anak dampingan Lentera Anak Pelangi meninggal dunia di masa pandemi ini.
Kondisi memprihatinkan turut dialami anak-anak dari keluarga prasejahtera sebagaimana yang disampaikan oleh Jessica Hutting. 56% anak dari keluarga prasejahtera memilih untuk bekerja sebagai pemulung atau berjualan untuk pemasukan tambahan dalam keluarga karena 77% orang tua kehilangan pekerjaan. Anak-anak ini juga mengalami kekhawatiran akan keluarga dapat tertular COVID-19, orang tua kehilangan pekerjaan, dan pandemi yang tidak kunjung usai.
Bandungwangi sebagai lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada pendampingan langsung anak korban dan rentan eksploitasi seksual komersial yang ada di dalam lingkungan prostitusi maupun masyarakat melakukan assessment terhadap anak-anak dampingannya. Endang Supriyati sebagai perwakilan dari Bandungwangi menyampaikan bahwa di tengah kondisi pandemi ini, anak-anak menjadi lebih mudah untuk menjadi korban eksploitasi seksual secara online. Mereka dijanjikan menjadi model dengan cara dipandu untuk memberikan foto-foto yang tidak pantas semisal foto tanpa busana dengan alasan supaya bisa melihat postur tubuh secara utuh. Kerentanan eksplotasi seksual berbasis online juga mengintai karena anak banyak menghabiskan waktu berselancar di jagat maya dan menggunakan media sosial. Diketahui bahwa 43% anak di Jakarta pernah dikirimi gambar/video porno secara langsung atau melalui tautan, dikirimi tulisan/pesan teks yang menurut dirinya/temannya tidak sopan dan senonoh, dan dikirimi gambar/video yang membuat dirinya/temannya tidak nyaman.
Menariknya, dari hasil penelitian yang dipaparkan Catherine Thomas, dampak COVID-19 ternyata tidak melulu membawa keresahan dan identik dengan hal-hal negatif. Orang tua dan anak remaja menjadi lebih “kreatif” (resourceful), menjaga asupan makanan agar lebih sehat dan terjamin, serta hubungan antar pribadi (orang tua-anak) yang menjadi lebih dekat merupakan sisi lain yang terjadi selama masa pandemi COVID-19.