HATI Inject (HIV Awal (Early) Testing & Treatment Indonesia for People Who Inject Drugs) merupakan proyek penelitian dan intervensi pilot kepada Penasun (pengguna napza suntik) dengan HIV di Indonesia, khususnya Jakarta dan Bandung. Penasun sendiri merupakan populasi dengan prevalensi HIV tertinggi, yaitu pada angka 40-55%. HATIinject merupakan hasil kolaborasi antara Pusat Penelitian HIV/AIDS UNIKA Atma Jaya, Universitas Padjajaran Bandung, RS Hasan Sadikin Bandung, Kirby Institute UNSW Australia, dan World Health Organization (WHO) Indonesia. Tujuan dari proyek ini ada dua, yaitu :
- Untuk mengevaluasi intervensi yang ditujukan untuk meningkatkan jumlah tes HIV dan Terapi Antiretroviral (ARV) langsung, atau yang disebut dengan strategi Test and Treat (T&T), di antara Penasun di Indonesia.
- Untuk mengembangkan kapasitas dalam penelitian implementasi di Indonesia melalui pelatihan dan partisipasi aktif dari peneliti lokal di Indonesia.
Adapun untuk mencapai tujuan tersebut, proyek HATIinject ini terdiri dari dua fase dimana fase pertama berjalan dalam tahun pertama (2016) proyek dan fase kedua berjalan dalam tahun kedua (2017) dan ketiga (2018). Pada fase atau tahun pertama, observasi terhadap standar perawatan HIV aktual akan dilakukan kepada Penasun yang baru saja didiagnosa memiliki HIVdan dengan begitu baru saja menerima ARV. Sementara itu, pada tahun kedua dan ketiga, serangkaian intervensi pilot untuk meningkatkan strategi T&T akan diberikan kepada pasien positif HIV. Intervensi dirancang dengan melibatkan komunitas dan key stakeholders sebagai konsultan agar intervensi tersebut memang dapat diterapkan, dapat diterima, dan memiliki sifat keberlanjutan bahkan setelah studi berakhir. Data pada fase pertama dan kedua kemudian akan dibandingkan untuk melihat keberhasilan intervensi pilot dalam meningkatkan retensi perawatan HIV.
Sejauh ini, fase pertama dari HATIinject sudah berjalan dan studi di Jakarta menunjukan bahwa hanya 72% dari partisipan yang mau untuk memulai inisiasi ARV dan hanya 58% yang masih meneruskan pengobatan ini. Informasi yang salah terkait efek ARV dan kekhawatiran akan stigma dan diskriminasi dari keluarga dan masyarakat, menjadi alasan mengapa partisipan enggan untuk memulai inisiasi ARV. Sementara itu, partisipan ARV biasanya berhenti melakukan pengobatan karena alasan jenuh. Melihat berbagai alasan tersebut, disimpulkan bahwa penasun dengan infeksi HIV membutuhkan dukungan psikososial dan layanan kesehatan mental.
Berdasarkan data dan kesimpulan yang diambil lewat studi fase pertama, intervensi pilot yang dipilih untuk fase kedua dan ketiga adalah berupa konseling dengan pendekatan motivational interviewing (MI) serta SMS reminder. Pelatihan MI sendiri sudah dilakukan untuk para dokter, perawat, dan konselor dari dua Pusat Kesehatan Masyarakat (PKM) di Jakarta, yaitu PKM kecamatan Senen dan Grogol Petamburan. Pelatihan ini juga diikuti oleh para petugas lapangan dari dua lembaga yaitu Kios Informasi Kesehatan Unika Atma Jaya dan Yayasan Karisma. Setelah pelatihan tersebut, penguatan keterampilan MI para peserta, khususnya diPKM, terus ditingkatkan melalui uji coba intervensi MI pada pasien di PKM tersebut (in–house training). Dengan beberapa kali uji coba, diharapkan para dokter, perawat, dan konselor di PKM telah siap untuk melaksanakan intervensi MI pada pasien partisipan HATIinject. Pelatihan SMS Reminder juga sudah dilakukan pada 21 Desember 2017 lalu. SMS Reminder bertujuan untuk membantu mengingatkan pasien dalam meminum obat dan kunjungan pengambilan obat melalui SMS. Pasien dapat memilih waktu pengiriman SMS pengingat minum obat dan kunjungan pengambilan obat sesuai dengan keinginan pasien.
Proyek HATIinject tentunya masih akan terus berjalan dan diharapkan dapat membawa manfaat terutama dalam mencegah penyebaran virus HIV melalui ARV awal, dan peningkatan perawatan HIV secara menyeluruh dan berlanjut.