Search
Close this search box.

Berteman dengan Stres

2021

Foto Hanya Ilustrasi.

Hari Kesehatan Mental sedunia diperingati setiap tanggal 10 Oktober. Peringatan ini mengingatkan kita semua untuk memperhatikan sisi kesehatan yang terkadang terlupakan, yaitu kesehatan mental. Hal ini dikarenakan sisi ini terkadang tidak memiliki tanda sakit yang nyata di tubuh seseorang. Lain dengan sakit jasmani yang memiliki tanda nyata seperti kulit kemerahan, tubuh panas, mata berair atau bahkan bagian tubuh yang terasa sakit jika ditekan pada saat pemeriksaan badan. Pada kondisi mental, rasa sakit itu lebih tersembunyi. Untuk menemukenali rasa sakit dari kondisi mental, perlu perhatian lebih dalam menyadari tanda-tanda yang sebenarnya sudah diberikan oleh tubuh melalui tanda-tanda sakit dari badan.

Pernah merasakan sakit gigi tetapi setelah diperiksa dokter gigi, gigi tersebut ternyata sehat? Ketika datang ke suatu tempat, tetiba perut terasa sakit, namun ketika sudah melalui tempat itu, perut sehat kembali? Ketika membuka komputer atau telepon genggam, mata terasa kabur namun ketika kita tidak jadi membukanya, mata baik-baik saja? Hal-hal tersebut merupakan beberapa contoh bahwa ada sesuatu yang tidak sehat dari sisi mental yang menunjukkan dengan munculnya sakit di badan seseorang.

Situasi pandemi yang ada saat ini, membawa tantangan tersendiri bagi setiap orang. Pandemi ini membawa perubahan yang sangat dinamis, membuat semua yang terlibat di dalamnya dipaksa untuk berubah dan beradaptasi. Tantangan-tantangan bermunculan dengan situasi masa depan yang tidak pasti. Bagi sebagian orang, menyambut situasi ini dengan santai, bahkan ada yang sudah berserah diri – apa pun yang terjadi, ya sudah diikuti saja. Namun, ada orang-orang yang merasa sangat tidak nyaman dengan banyaknya tantangan dan ketidakpastian hasil akhir. Seakan sekeras usahanya untuk mengatasi tantangan, ia merasa tidak pernah cukup baik.

Respons seseorang terhadap berbagai tantangan atau stressor-stressor ini disebut sebagai stres (Nelson & Simmons, 2004; Selye, 1976). Mungkin bahasa sehari-harinya, seseorang menjadi terus-menerus berpikir mengenai suatu hal atau kepikiran meski sebenarnya ia tidak mau memikirkannya. Kepikiran ini kemudian dapat dipandang sebagai suatu hal yang negatif dan menimbulkan respons yang disebut sebagai distress (Nelson & Simmons, 2004; Selye, 1976) Kondisi ini kemudian dapat menimbulkan emosi-emosi negatif seperti rasa marah, cemas, frustrasi, dan kekhawatiran (Lazarus & Folkman, 1984). Distress yang berkepanjangan juga dapat menyebabkan burnout, depresi (Le Fevre, Kolt, & Matheny, 2006), dan penurunan tingkat well-being pada seseorang (Kuntz, Näswall, & Walls, 2013).

Istilah stres seringkali hanya dihubungkan pada bentuk respons negatif, yang dikenal dengan istilah distress. Namun, ada bentuk stres yang dikaitkan dengan bentuk respon positif, yang dikenal dengan istilah eustress (Nelson & Simmons, 2004). Eustress merupakan respons ketika seseorang memandang stressor sebagai tantangan atau peluang untuk berkembang. Dampak dari eustress adalah timbulnya rasa antusias, senang, semangat, harapan, rasa mampu, dan kepuasan dalam hidup  (Lazarus & Folkman, 1984; O’Sullivan, 2011).

Eustress memberikan tingkat tekanan optimal sehingga mendorong seseorang untuk lebih termotivasi dan lebih kreatif dalam melakukan pekerjaannya (Yerkes & Dodson dalam Le Fevre dkk., 2003). Di masa pandemi, ada orang-orang yang tetap bertahan, beradaptasi, dan kemudian mulai pulih sampai mengalami kemajuan. Meski sempat merasakan pengurangan pemasukan, pemotongan hari kerja yang berimbas pada gaji bulanan, atau bahkan sampai “dirumahkan” selama beberapa bulan, ada ide-ide baru yang positif bermunculan. Salah satu contoh yang adalah di lingkungan tempat tinggal penulis, tetiba terbentuklah suatu WAGroup dengan anggota satu RW, yang saling berjualan – istilah kami: buka lapak untuk berdagang. Awal berdagang hanya melayani 3-4 pembeli, sampai kemudian puluhan. Kelompok ini akhirnya pun saling bekenalan dan saling tahu siapa tinggal di mana. Sebelum pandemi, hal ini tidak terjadi. Maksimal hanya mengenal tetangga kanan-kiri dan depan rumah. Namun, dengan adanya situasi pandemi, kami saling kenal dan saling membantu, entah dengan meneruskan dagangan tetangga ke kenalan atau membeli dagangan tetangga ketika memang cocok. Tekanan pandemi pun menjadi sedikit teratasi dengan adanya pemasukan baru dan kenalan baru. 

Suatu stressor dapat menghasilkan respons distress atau eustress bergantung pada evaluasi seseorang terhadap stressor yang sedang dihadapi (Nelson & Simmons, 2004). Pandemi ini telah menjadi stressor yang cukup lama, yang juga tampaknya masih tidak pasti ke depannya. Kita memiliki kebebasan untuk memberikan respon positif atau negatif, menganggap pandemi ini sebagai  eustress atau distress. Tentunya pilihan ini memiliki konsekuensi terhadap kesehatan kita. Mari memilih respon kita dengan bijak.

Daftar Pustaka

Kuntz, J. R., Näswall, K., & Walls, F. (2013). Dual-response approach to work stress: An investigation of organisational stressors, individual moderators and wellbeing outcomes. International Journal of Psychology and Behavioral Sciences7(6), 1657–1663. Retrieved from http://hdl.handle.net/10092/7014

Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, Appraisal, and Coping. New York, NY: Springer Publishing Company.

Le Fevre, M., Kolt, G. S., & Matheny, J. (2006). Eustress, distress and their interpretation in primary and secondary occupational stress management interventions: Which way first? Journal of Managerial Psychology21(6), 547–565. https://doi.org/10.1108/02683940610684391

Le Fevre, M., Matheny, J., & Kolt, G. S. (2003). Eustress, distress, and interpretation in occupational stress. Journal of Managerial Psychology18(7–8), 726–744. https://doi.org/10.1108/02683940310502412

Nelson, D. L., & Simmons, B. L. (2004). Eustress: an elusive construct, an engaging pursuit. Research in Occupational Stress and Well Being3(03), 265–322. https://doi.org/10.1016/S1479-3555(03)03007-5

O’Sullivan, G. (2011). The relationship between hope, eustress, self-efficacy, and life satisfaction among undergraduates. Social Indicators Research101(1), 155–172. https://doi.org/10.1007/s11205-010-9662-z

Selye, H. (1976). Stress without distress. In G. Serban (Ed.), Psychopathology of Human Adaptation. https://doi.org/https://doi.org/10.1007/978-1-4684-2238-2_9

Disclaimer: Tulisan ini mewakili opini penulis dan tidak menggambarkan opini dan sikap Pusat Penelitian HIV Atma Jaya.

Only available in Indonesian

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Publikasi Terkait

Download

Berteman dengan Stres

Skip to content