Nama saya Anna Deasyana, tapi kamu cukup memanggil saya Anna. Dahulu, saya menyelesaikan pendidikan S1 dan S2 di Fakultas Psikologi UNIKA Atma Jaya dengan spesialisasi Klinis Dewasa. Selama hampir 2,5 tahun saya bekerja sebagai Psikolog di Puskesmas Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Di sana saya juga bertanggung jawab atas program psikososial kebencanaan. Selain itu, saya merupakan tim humas Puskesmas Mampang Prapatan, dan tim humas Ikatan Psikolog Klinis Jakarta.
Bekerja sebagai Psikolog di Puskemas itu seru dan menantang sekali. Pernyataan ini bukan tanpa sebab. Mereka yang menjadi klien atau pasien, dan orang-orang yang saya temui hampir sebagian besar berasal dari kelas sosial menengah ke bawah yang masih awam masalah psikologi atau kesehatan jiwa (keswa), walaupun ada juga yang datang dari kelompok sosial menengah ke atas. Tidak hanya individu-individu saja yang saya temui selama bertugas. Ada juga komunitas-komunitas yang perlu diberikan edukasi terkait masalah keswa. Misalnya saja komunitas keagamaan, sekolah, komunitas lansia, komunitas orang dengan HIV AIDS, dan masih banyak lagi. Rentang usianya pun beragam, dari remaja hingga lansia. Mereka menghadapi berbagai kasus, seperti putus cinta, kehilangan pekerjaan, kedukaan, trauma masa lalu, dan lain sebagainya. Keberagaman latar belakang pasien dan/atau orang-orang -termasuk mereka yang berasal dari komunitas- yang saya temui membuat saya harus menyesuaikan bahasa penyampaian masalah kesehatan jiwa yang mereka hadapi. Bahasa yang saya pergunakan menjadi lebih sederhana dan mudah dimengerti. Jargon-jargo psikologi yang sophisticated saya tinggalkan, tujuannya agar mereka mudah paham dengan apa yang saya jelaskan.
Semasa pandemi COVID-19, ada banyak permasalahan keswa yang dihadapi oleh pasien-pasien di Puskesmas. Masalah gangguan kecemasan sudah pasti sering saya jumpa, tapi tentu saja ada pasien dengan permasalahan lain. Saya kerap menghadapi pasien yang denial alias dalam tahap penyangkalan terhadap kondisinya dan marah-marah, saya juga harus menghadapi lintas sektor seperti pihak kecamatan, kelurahan, RW, RT, dan lainnya, yang mengalami ketakutan sehingga tidak bisa berkoordinasi dengan lingkungannya. Belum lagi di tengah kondisi pandemi seperti sekarang, masalah kecemasan juga datang dari para tenaga kesehatan yang sudah merasa kelelahan.
Bertemu dengan semua persoalan tersebut setiap hari tidaklah mudah. Nah, disinilah peran psikososial diterapkan dengan melakukan Psychological First AID (PFA) dan diajarkan stabilitas emosi agar membantu mereka kembali berfungsi lagi. PFA sendiri adalah sebuah intervensi singkat dan fleksibel yang biasa dipakai untuk program psikososial. Sederhananya, kita mengambil peran sebagai pendamping penyintas (survivor) agar tidak ada masalah psikologis yang lebih berat. Kita ada untuk mereka dengan mendengarkan keluh kesahnya tanpa menggali lebih dalam apa yang dirasakan/bayangkan itu juga sudah termasuk ke dalam PFA. Jadi, inti penerapannya adalah be there for them dengan 6 langkah yang mesti dilakukan. Keenam langkah tersebut adalah melihat, mendengar, menciptakan situasi nyaman, koneksi, lindungi, dan memberi harapan.
Sebagai bagian dari garda depan tenaga kesehatan jiwa, saya berharap semoga kita semua berhasil melawan stigma kesehatan jiwa khususnya stigma bagi para Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang masih sering terjadi. ODGJ itu bisa stabil, lho, dan dapat berfungsi lagi di lingkungannya, namun hal ini biasanya terhampat karena stigma yang menyebabkan perlakuan orang-orang di sekitarnya jadi tidak manusiawi terhadap ODGJ tersebut.
Saya juga ingin selalu mengatakan kepada teman-teman yang sedang berjuang dalam menghadapi masalah keswa agar tetap semangat dan tidak menyerah. Selain itu, penting juga untuk dapat menyadari batas kemampuan kita ketika menghadapi masalah kesehatan jiwa. Jangan lupa self-care agar tidak burn out.
Salam sehat jiwa!