Dankjoedin “ODHIV Runners”, Berlari untuk Melawan

2020

Dokumentasi Dankjoedin

Saya dilahirkan dengan nama Endang Jamaludin, namun kini teman-teman dan orang-orang terdekat lebih akrab memanggil saya Dankjoedin. Sejak tahun 2014 saya telah hidup dengan HIV. Jika ditanya awal mula cerita bersarangnya HIV dalam tubuh saya, ingatan saya akan kembali pada masa-masa tidak menyenangkan lebih dari enam tahun lalu. Kala itu saya menghadapi kenyataan harus berpisah dengan mantan istri saya dan ternyata saya tidak mampu untuk menghadapi kenyataan pahit itu serta tekanan mental yang harus saya tanggung terasa begitu berat. Saya pun terjerumus dalam penggunaan narkoba jarum suntik. Ketidaktahuan dan kurangnya informasi tentang penggunaan jarum suntik secara bersamaan yang sangat berisiko untuk kesehatan membuat saya melakukan terus melakukannya selama beberapa tahun.

Awal Terdeteksi, Penyangkalan dan Titik Balik

Pertengahan tahun 2014 saya diajak oleh teman-teman LSM Yayasan Vesta Yogyakarta untuk mengikuti tes VCT guna mengetahui status kesehatan saya. Setelah melewati rangkaian proses konseling dan pemaparan informasi penting mengenai virus HIV, saya menjalani inti tes VCT, dan hasil yang saya dapatkan adalah saya positif HIV. Akan tetapi, kenyataan itu tidak langsung bisa saya terima, saya menolaknya, dan tidak menghiraukan hasil tes tersebut. Lalu, tidak lama setelahnya saya memutuskan untuk pindah dari Kota Yogyakarta ke Kota Bekasi.

Pada tahun 2015 setelah saya hijrah dari Yogyakarta ke Bekasi, saya menerima kabar bahwa beberapa teman saya meninggal dunia satu persatu. Hal ini yang jadi pemicu saya untuk memulai insiatif pencarian informasi seputar HIV ADIS dan mencari pendamping untuk menemani saya tes VCT kembali. Singkat cerita, setelah berhasil menemukan pendamping dan melakukan tes VCT ulang, saya kembali dinyatakan positif HIV. Hasil yang tidak berubah dari tes VCT pertama saya.

Sejujurnya, saat itu saya merasa terpuruk, merasa bahwa hidup saya sudah berakhir, dan sebentar lagi saya akan mati. Namun, berkat informasi-informasi seputar HIV yang saya terima, dan pendampingan dari teman-teman LSM yang mendukung saya serta memberikan semangat hidup, saya akhirnya mau berobat dan dirujuk ke RSUD Kabupaten Bekasi. Saat itu saya bersyukur, ternyata kondisi saya masih sehat dan hasil tes pemeriksaan kesehatan, fungsi organ saya masih baik dan CD4 saya masih tinggi. Akan tetapi, sampai tahun 2017 saya belum mengakses obat ARV karena masih ada keraguan dalam diri terkait apakah saya bisa konsisten dalam terapi obat yang harus saya minum seumur hidup.

Tahun 2018 menjadi titik balik kondisi kesehatan saya. Usai pindah fasilitas kesehatan ke RSUD Kota Bekasi dan didorong untuk melakukan terapi obat ARV, saya pun menjadi rutin mengonsumsi obat tersebut hingga sekarang. Saya juga mulai terbuka dengan status saya sebagai orang dengan HIV. Keterbukaan tersebut mendatangkan dukungan dari keluarga. Mereka mendukung saya untuk terus berjuang dan tetap semangat untuk sehat. Saya beruntung, dukungan ini juga saya dapatkan ketika saya memutuskan untuk terbuka tentang status kesehatan saya kepada teman, bahkan teman-teman kantor tempat saya bekerja.

Berlari untuk Melawan Stigma dan Diskriminasi

Walaupun saya sendiri mendapat limpahan dukungan, saya tidak menutup mata dengan banyaknya stigma, diskriminasi, dan intimidasi yang diterima oleh orang dengan HIV (ODHIV). Kesadaran ini mendorong saya untuk melakukan sebuah kampanye #NolDiskriminasiODHIV, tapi saya berpikir, bagaimana caranya? Terlintas di kepala saya jika diskriminasi itu muncul ketika orang lain tidak mengetahui informasi tentang virus HIV dan gejala AIDS, dan menganggap jika keduanya adalah hal yang sama. Saya juga ingin meruntuhkan anggapan bahwa ODHIV adalah seseorang yang lemah, tidak bisa berbuat apa-apa, sakit, dan mudah menularkan. Padahal, fakta yang sebenarnya ODHIV bisa tetap sehat asalkan terapi ARV yang disiplin. Selain itu, ODHIV yang disiplin terapi ARV juga akan memperoleh hasil viral load undetected, artinya  maka ODHIV akan memperoleh hasil viral load yang undetected, artinya ODHIV tidak lagi menularkan virus HIV yang ada di tubuhnya. Hal ini juga sejalan dengan keterangan WHO dan lebih dari 750 organisasi lain di seluruh dunia yang telah membuat konsensus bahwa orang yang viral load HIV-nya ditekan secara stabil atau tidak terdeteksi maka tidak dapat menularkan virus secara seksual.

Atas dasar tersebut, saya pun mulai mengembangkan hobi olahraga lari saya, dimulai dengan berlari sendiri, kemudian bergabung dengan beberapa komunitas lari seperti @ceorunners dan memulai kampanye #berlariuntuknoldiskriminasiODHIV disetiap event lari yang saya ikuti. Bersama komunitas-komunitas lari yang saya ikuti, saya jadi lebih banyak berlatih dan mempelajari banyak hal tentang dunia lari. Dalam setiap aktivitas berlari saya, saya mengenakan tag line “I am HIV positive, come run with me for #zerodiscriminations”. Apa yang saya lakukan tersebut mendapat banyak dukungan, terutama dari teman-teman ODHIV yang mulai terbuka akan statusnya dan ingin ikut berlari untuk #NolDiskriminasi. Dan dari sanalah ide untuk membuat komunitas lari bernama ODHIV Runners yang terdiri atas orang dengan HIV dan non HIV dari berbagai kota seperti Jakarta, Bekasi, Bogor, Tangerang, dan kota-kota lainnya.

Sekarang saya sudah melalui banyak hal di berbagai ajang perlombaan lari. Mulai dari jarak 5K dengan personal best waktu 22 menit, 10k dengan personal best waktu 50 menit, half marathon 21k dengan personal best 1 jam 53 menit dan full marathon 42,1K dengan personal best waktu tempuh 4 jam 40 menit. Di tahun 2020 sebuah perlombaan lari ultra marathon digelar, namanya “Bintaro Loop Marathon 2020”. Di perlombaan ini, terdapat marathon dengan kategori 60K, 120K, dan 200K. Saya merupakan salah satu pelari yang berkeinginan untuk meraih podium 60K. Bisa kamu bayangkan? Saya, orang dengan HIV, berani sehat dan berlari mengejar mimpi sebagai pelari ultra marathon! Di saat orang lain mungkin bersedih dan meratapi status HIV mereka, saya berani bangkit melawan stigma, diskriminasi serta intimidasi terhadap orang dengan HIV.

Dengan hobi dan aktivitas saya sebagai pelari, saya ingin menyampaikan pesan kepada teman-teman ODHIV dan khalayak umum bahwa orang dengan HIV mampu berlari sejauh 60KM selama 9 jam 2 menit dan 3 detik, serta mendapatkan predikat ultra runners. Olahraga lari juga sangat bermanfaat karena dapat memicu keluarnya hormon serotonin, hormon yang membantu mengatur kesehatan mental. Jadi, mungkin teman-teman ODHIV maupun teman-teman non-ODHIV lainnya bisa mencoba bersama menggalakan olahraga lari, mungkin kita juga bisa berlari bersama untuk melawan segala bentuk stigma dan diskriminasi. Shall we?

Only available in Indonesian

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download

Dankjoedin “ODHIV Runners”, Berlari untuk Melawan

Skip to content