Kelompok LGBT Enggan Berobat Karena Takut Dipertobatkan

2018

Ignatius Praptoraharjo, peneliti senior Pusat Penelitian HIV AIDS UAJ

Penulis: M Faisal

Sejak gelombang anti-LGBT muncul pada 2016, keberadaan kelompok minoritas seksual dan gender ini makin terpinggirkan. Atas nama moral dan melanggar norma, mereka dipersekusi aparat hukum, diringkus di ruang privat, dijerat UU Pornografi, hingga dipermalukan lewat pemberitaan di media massa. Tak ayal, hari-hari mereka diliputi perasaan waswas, takut sewaktu-waktu dirazia, diperlakukan sebagai warga kelas dua.

Selain menimbulkan ketakutan, aksi-aksi penghakiman oleh parat polisi, pejabat, ormas militan Islam telah memperkecil ruang mereka mendapatkan layanan kesehatan, terutama pencegahan dan penanggulangan HIV, secara maksimal. Gelombang persekusi itu telah menutup lokasi-lokasi tongkrongan mereka (hot spots) tempat biasanya mereka memperoleh akses kesehatan dari para penyuluh.

Tatkala hot spots ditutup, otomatis kelompok LGBT terhambat mengakses layanan kesehatan. Datang ke puskesmas maupun rumah sakit pun sama saja, mengingat mereka kerap menerima stigma negatif dari pekerja kesehatan. Sengkarut ini menebalkan kehadiran kelompok LGBT semakin terancam dan terintimidasi di negaranya sendiri.

Guna membahas masalah ini, Faisal Reza Irfan dari Tirto mewawancarai Ignatius Praptorahardjo, peneliti pada Pusat Penelitian HIV dan AIDS Unika Atma Jaya Jakarta dan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Praptorahardjo, bersama koleganya, selama ini terlibat dalam pengembangan program kesehatan bagi kelompok marjinal (pekerja seks, pengguna narkoba, dan warga binaan lapas) melalui LSM Kembang Yogyakarta, Kios Atma Jaya Jakarta, dan RED Institute Bogor.

Laporan terbaru Human Rights Watch menyebut persekusi aparat membuat kelompok LGBT kesulitan mengakses hak-haknya atas layanan kesehatan, terutama pencegahan dan penanggulangan HIV. Bagaimana menurut Anda?

Memang ada benang merahnya antara persekusi dan tidak tersedianya hak-hak layanan kesehatan bagi kelompok LGBT. Persekusi mendorong orang-orang untuk disclose tentang hal ini. Yang selama ini mereka bergerak di tempat tertentu, mudah dijangkau oleh penyuluh dengan alat-alat pencegahan seperti kondom, kemudian hilang begitu saja akibat persekusi. Kemudian, mereka jadi sembunyi-sembunyi, entah lewat media sosial maupun komunikasi personal.

Sehingga, dari sini, untuk menjangkau kelompok LGBT jadi susah. Karena ketika mereka melakukan komunikasi personal lewat media sosial, katakanlah, tidak ada kontrol untuk mengawasi hal itu. Misalnya, kita tidak bisa mengontrol tentang penggunaan kondom dan keamanan saat berhubungan dengan pasangan, apabila mereka sekarang sembunyi-sembunyi.

Maka, segala sesuatu ini berimbas pada jangkauan mereka terhadap layanan kesehatan. Mereka jadi sulit mengakses. Belum lagi stigma yang ditujukan kepada mereka dari penyedia layanan kesehatan soal perilaku seksual hingga tanggung jawab sosialnya. Contohnya, yang paling sering: “Kamu, kok, ganteng-ganteng jadi gay?” Ada semacam moral obligation. Jangan jadi ini, jangan jadi itu.

Kondisi seperti ini menjauhkan kelompok LGBT atas layanan kesehatan. Padahal, setelah aksi persekusi marak terjadi, satu-satunya ruang yang tersedia untuk memenuhi hak-hak mereka adalah fasilitas kesehatan umum seperti puskesmas dan rumah sakit, di mana di dua tempat tersebut mereka berpotensi didiskriminasi dan mendapatkan stigma.

Dampaknya, kelompok LGBT jadi enggan berobat karena takut dipertobatkan akibat stigma yang ada. Mereka khawatir orang-orang menyerang perilaku seksual mereka. Sementara, di saat bersamaan, layanan kesehatan yang friendly juga sangat terbatas, jika tidak ingin disebut nihil.

Kemudian, akses pencegahan dan pengobatan HIV jadi minim. Mereka tidak berani tes HIV, misalnya. Karena di dalam tes tersebut, mereka akan ditanya macam-macam, terutama soal orientasi seksualnya. Meski bersifat confidential, tapi mereka tetap saja takut. Ada perasaan terancam. Jika pekerja kesehatan mengetahui orientasi seksual mereka, bisa jadi mereka dihakimi dan mendapatkan stigma.

Yang terjadi setelahnya adalah tingkat kecenderungan tertularnya HIV begitu tinggi pada laki-laki dan LSL (gay) berusia muda. Mereka yang berumur di bawah usia 25 tahun, prevalansinya begitu tinggi.

Saya beri contoh. Di Yogyakarta, ada penelitian yang memperlihatkan bahwa tidak ada perbedaan antara perilaku seks laki-laki yang positif HIV dan laki-laki yang belum tahu apakah mereka positif HIV atau tidak. Tapi, ini juga menunjukkan semua hanya persoalan waktu saja. Sedangkan informasi di lapangan begitu terbatas akibat persekusi. Ditambah, akses kesehatan mereka terancam hilang karena mereka takut datang ke layanan kesehatan publik.

Ujung-ujungnya, mereka yang kena HIV sekali datang berobat sudah dalam kondisi parah. Pengobatan untuk mereka pun jadi sulit. Ini imbas dari perputaran diskriminasi terhadap mereka. Tidak hanya persekusi aparat, melainkan dari masyarakat umum hingga pekerja kesehatan.

Persekusi memaksa hot spots kelompok LGBT hilang. Padahal, di tempat-tempat inilah mereka merasa aman dan nyaman untuk membahas masalah seksualnya tanpa ada ancaman maupun aksi diskriminasi. Para penyuluh pun bisa menjalankan tugas secara maksimal. Apa yang terjadi kemudian?

Sebetulnya, ada solusi yang bisa dilakukan, yaitu dengan covering. Apa maksudnya? Jangan menunjukkan kepada publik kalau LGBT. Misalnya, jangan mengecet rambut dengan warna mencolok, jangan berpakaian secara berlebihan, dan jangan berperilaku feminin. Ini yang disarankan oleh komunitas mereka sendiri.

Komunitas mengimbau pada anggotanya untuk beradaptasi. Tujuannya, menghindarkan mereka dari olok-olok dan stigmatisasi. Dengan covering itu, mereka bisa mendapatkan fasilitas kesehatan dengan baik dan minim dipersekusi.

Tapi, dengan covering bukan berarti menghentikan masalah yang ada. Para LSL (gay) tetap saja merasa terancam ketika sudah masuk ranah fasilitas kesehatan publik. Dan, lagi-lagi, mereka memilih untuk menghindari itu karena mereka berpotensi ditanya macam-macam tentang perilaku seks mereka yang nantinya bakal membuka identitas mereka sebagai gay. Ada potensi mereka bakal kena stigma di fase ini.

Maka, jadinya, seperti yang saya jelaskan sebelumnya, para LSL lebih memilih bersembunyi. Ujung-ujungnya, di tengah akses kesehatan yang minim, kami sulit mendeteksi penyebaran HIV di populasi ini. Otomatis, penularannya menjadi cepat dan ketika mereka datang untuk berobat, kondisinya sudah parah dan sulit disembuhkan.


Artikel ini dipublikasikan di https://tirto.id/cNLl

Only available in Indonesian

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download

Kelompok LGBT Enggan Berobat Karena Takut Dipertobatkan

Skip to content