Remaja membutuhkan edukasi terkait kesehatan reproduksi dan informasi tentang HIV.
Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. WHO mengkategorikan remaja pada rentang usia 10-19 tahun. Sedangkan Permenkes 25 tahun 2014 mendefinisikan remaja sebagai penduduk dalam rentang usia 10-18 tahun. Ada juga yang menggabungkan pembahasan remaja (10-19 tahun) dengan pemuda atau youth (15-24 tahun), kemudian disebut dengan orang muda atau young People (10-24 tahun).
Berbagai sumber mendefinisikan usia remaja dengan cukup bervariatif. Namun pada pembahasan ini, kita akan berfokus pada remaja dengan rentang usia 10-19 tahun.
Berdasarkan Survei Penduduk Antar Sensus 2015, jumlah penduduk di Indonesia usia 10-14 tahun sebanyak 23,4 juta orang dan usia 15-19 tahun sebanyak 21,1 juta. Sekitar 17,5% dari jumlah penduduk Indonesia adalah remaja. Potensi besar untuk generasi Indonesia selanjutnya dengan memberikan investasi pendidikan yang tepat. Namun, beriringan dengan potensi, risiko melingkupi para remaja, salah satunya adalah terkait isu kesehatan, termasuk penularan HIV.
Mengapa Remaja Rentan terhadap HIV?
Anak rentan pada HIV pada dua tahap kehidupan mereka.
- Pertama adalah ketika dekade pertama dimana HIV dapat ditularkan dari ibu ke anak, dan selanjutnya adalah ketika dekade kedua pada hidup anak yaitu ketika memasuki masa remaja.
- Pada masa remaja terjadi perubahan baik fisik, psikis, kognitif, maupun sosio-emosional. Masa ini menjadi periode ‘coba-coba’. Remaja bereksperimen terhadap hal baru sebagai bentuk pencarian jati diri. Berbagai perubahan yang terjadi dan karakteristik remaja menempatkan mereka pada kerentanan terhadap perilaku beresiko. Perilaku berisiko ini termasuk melakukan hubungan seks dan penggunaan napza suntik
Kesehatan Reproduksi Remaja di Indonesia
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SKDI) 2012, sebanyak 1,6% remaja perempuan (110 orang) usia 15-19 tahun telah melakukan hubungan seks sebelum berusia 15 tahun. Hanya 40,5% (2.805 orang) remaja perempuan usia 15-19 tahun yang menggunakan kondom ketika berhubungan seksual dan hanya 61% (4.225 orang) yang membatasi hubungan dengan satu pasangan.
Hubungan seksual pada usia muda meningkatkan infeksi HIV, terutama jika melibatkan pasangan seksual yang berisiko. Selain risiko HIV, hubungan seksual pada remaja muda berdampak pada aborsi yang tidak aman, pernikahan dini, dan melahirkan di usia yang masih sangat muda.
Remaja laki-laki usia 15-19 tahun memiliki persentase lebih tinggi dalam seks pra-nikah dibandingkan remaja perempuan. Sekitar 4,5% remaja laki-laki dan 0,7% remaja perempuan pernah melakukan seks pra-nikah. Alasan melakukan hubungan seksual yang paling banyak adalah, 57,7% remaja laki-laki karena penasaran, 38% remaja perempuan menyatakan terjadi begitu saja, dan 12,6% remaja perempuan menyatakan melakukan hubungan seksual akibat paksaan oleh pasangan. Kesadaran yang rendah terkait isu kesehatan dan seksualitas, tekanan sosial dari lingkungan pertemanan, dan pola hubungan yang tidak seimbang menjadi sumber permasalahan kesehatan remaja.
Rapor Kesehatan Reproduksi Remaja di Indonesia
Menurut United Nations Development Economic and Social Affairs (UNDESA) 2010 dalam situasi kesehatan reproduksi remaja menyebutkan Indonesia merupakan negara ke-37 dengan persentase yang tinggi pernikahan usia muda dan tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja.
Pada tahun 2010, terdapat 158 negara dengan usia legal minimum perempuan menikah adalah 18 tahun, namun sangat disayangkan di Indonesia usia minimal perempuan menikah masih 16 tahun. Berdasarkan SKDI 2012, 12,6% remaja usia 15-19 tahun sudah berstatus menikah. Riset Kesehatan Dasar 2013, menyebutkan proporsi kehamilan remaja usia 15-19 tahun di perkotaan sebesar 1,28% di perkotaan dan 2,71% di pedesaan. Kehamilan pada remaja usia di bawah 15 tahun juga masih terjadi meskipun dalam persentase yang kecil sebesar 0,02%.
Seiring tekanan sosial dan ekonomi dalam perubahan menuju dewasa, remaja mulai aktif secara seksual, menikah, dan hamil di usia dini. Hal ini meningkatkan permasalahan kesehatan di kalangan remaja. Terbatasnya layanan kesehatan untuk remaja lalu memperparah kondisi ini.
Masa remaja merupakan masa eksplorasi seksual. Akses informasi tentang layanan kesehatan seksual dan reproduksi menjadi bagian penting di masa ini. Kedua pemerintah dan masyarakat perlu memperhatikan secara khusus kurangnya informasi dan pengetahuan tentang risiko ini bagi remaja. Penguasaan hak-hak reproduksi, kematangan dan tanggung jawab individu, memberikan hak-hak individu untuk memperoleh pengetahuan dari layanan kesehatan menjadi aspek mendasar pemahaman kesehatan reproduksi untuk remaja.
Pendidikan Kesehatan Reproduksi untuk Remaja
Pendidikan kesehatan reproduksi remaja melalui sekolah merupakan salah satu strategi pencegahan yang baik dalam meningkatkan pemahaman remaja dan menurunkan perilaku berisiko di kalangan remaja.
Pemerintah sudah mendorong upaya dan gerakan untuk memfasilitasi pendidikan kesehatan reproduksi remaja. Sayangnya, upaya ini mendapat penolakan, baik dari pihak sekolah ataupun masyarakat terkait pemberian pendidikan kesehatan reproduksi. Pemikiran bahwa pemberian pendidikan seks mendorong para remaja menjadi aktif secara seksual dan meningkatkan angka kehamilan masih menjadi alasan penolakan tersebut. Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pendidikan kesehatan seksual merupakan langkah awal memberikan akses informasi yang akurat bagi remaja.
Model pendidikan kesehatan reproduksi dengan model “menakut-nakuti” remaja untuk menghindari seks harus mulai bergeser kepada pendidikan kesehatan reproduksi yang positif. Pendidikan kesehatan reproduksi yang positif mengacu pada penyampaian informasi secara komprehensif dan bertanggung jawab.
Pembahasan mengenai kesehatan reproduksi remaja juga mengacu pada isu kesehatan, isu sosial dan budaya yang kompleks dan dinamis. Membahas kesehatan reproduksi berarti mendobrak batasan, mitos, dan tabu terkait pendidikan seks dan reproduksi pada masyarakat.