Tanggal satu Desember diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia (HAS) yang dimulai sejak tahun 1988. Tema HAS tahun ini menjadi menarik karena penggunaan eksplisit kata “komunitas” sebagai subjek dalam versi asli Bahasa Inggrisnya (communities make the difference). Mungkin terjemahan bebasnya dalam Bahasa Indonesia lebih tepat diartikan sebagai “komunitas sebagai agen perubahan.” Penggunaan kata komunitas sebagai tema HAS menjadi kali kedua setelah kemunculan pertamanya di tahun 1992.
Patut dicermati bahwa tema di tahun tersebut (community commitment) kata komunitas merupakan pendamping dari kata komitmen yang mendapatkan porsi lebih besar sehingga kata komunitas dapat diartikan sebagai “masyarakat luas.” Di tahun ini kata komunitas mengandung arti mereka yang terdampak oleh HIV itu sendiri seperti Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) atau mereka yang seringkali diklasifikasikan sebagai kelompok risiko HIV: mereka yang bergerak dengan semangat aktivisme dan tergabung di dalam Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) ataupun sebagai individu penggiat.
Peran sentral komunitas HIV mendapatkan sorotan utama dengan dikumandangkannya deklarasi Keterlibatan ODHA yang Lebih Besar (Greater Involvement of People Living with HIV/AIDS) pada tahun 1994 di Paris. Di Indonesia sendiri pola keterlibatan komunitas, terutama yang beridentitas OMS, dalam penanggulangan HIV mengalami corak perubahan yang cukup signifikan: mulai dari penyedia informasi (1990-an), kepanjangan tangan sektor kesehatan dan sosial dalam pemberian layanan (2000-an), sampai dengan pengelolaan program dengan titik berat pada advokasi kebijakan layanan (2010-sekarang). Tak dapat disangkal pergeseran peran ini hanya dapat terjadi karena akumulasi pengalaman dan perkembangan ilmu pengetahuan yang memungkinkan pengendalian dan pencegahan HIV yang efektif sehingga mengikis momok HIV sebagai virus mematikan. Perpaduannya dengan pengelolaan kapital (baca: dana) program menempatkan komunitas dalam posisi strategis dan prestise yang sulit terbayangkan pada era sebelumnya.
Pergeseran peran komunitas ini diharapkan dapat berkontribusi terhadap penurunan laju kematian terkait HIV yang terus mengalami kenaikan pada dasawarsa terakhir dan peningkatan cakupan pengobatan yang masih terbilang sangat rendah di dunia (17% dari semua ODHA). Ketersediaan pendanaan eksternal yang semakin menipis dan bahkan cenderung bersumber tunggal ditakutkan mengikis semangat guyub komunitas yang mengacu pada nilai saling percaya dan kesamaan ideologi sebagaimana diartikulasikan oleh Ferdinand Tรถnnies dengan terminologi gemeinschaft.
Semangat guyub ini lambat laun tergantikan oleh struktur birokrasi untuk akuntabilitas pemenuhan target belaka di bawah ancaman keberlanjutan aktivitas program yang tak menentu. Salah satu indikasi hal ini sedang terjadi dapat disadari dari bertolak belakangnya hasil program konkrit dalam indikator paling esensial, seperti perubahan tingkat kematian, dengan kinerja program komunitas yang dinilai tinggi. Meritokrasi yang tercipta dilandaskan pada daya serap anggaran program semata yang harus senantiasa tumbuh agar mendapatkan alokasi dalam jumlah yang setidaknya sama di periode selanjutnya. Klasik. Disadari atau tidak, OMS HIV dapat secara sukarela melestarikan inefisiensi dari birokrasi administratif yang dalam banyak kasus memberikan raison d’etre (tujuan keberadaan organisasi) bagi perjuangan OMS di masa perintisnya.
Komunitas telah, sedang, dan akan terus membuat perubahan dalam respons penanggulangan HIV. Dengan pengecualian vaksin, kita sudah memiliki teknologi untuk mencegah dan mengobati HIV secara efektif. Sejumlah terobosan intervensi baru (dan lama) yang sudah diterapkan secara luas di banyak negara seperti tes HIV berbasis komunitas dan pre-exposure prophylaxis (atau program kondom) masih mandek atau bahkan dirasakan terlalu tabu untuk disertakan dalam diskusi kebijakan, dikaji manfaatnya, dan untuk diimplementasikan. Intervensi-intervensi ini membawa dampak langsung pada kelompok risiko HIV sebagai bagian dari komunitas itu sendiri. Tingkat pengaruh yang dimiliki komunitas HIV saat ini dapat digunakan untuk membantu mewujudkan ketersediaan dari intervensi-intervensi ini. Semangat guyub komunitas perlu dirawat guna mempertahankan idealisme yang berpihak pada dan sensitif terhadap kebutuhan komunitas terdampak yang lebih luas. Dengan demikian komunitas secara sadar mengambil peranan aktif sebagai agen perubahan – selaras dengan tema HAS tahun ini.
Disclaimer: Tulisan ini mewakili opini penulis dan tidak menggambarkan opini dan sikap Pusat Penelitian HIV Atma Jaya.