Memaknai Kembali Berjejaring Daring

2020

Foto Hanya Ilustrasi.

Media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram menghubungkan jutaan orang di seluruh belahan dunia, tanpa batasan waktu dan ruang. Pada tahun 2019, angka pengguna media sosial di Indonesia mencapai 150 juta jiwa, hampir 56% dari total penduduk Indonesia. Setiap hari, jutaan orang tersebut rata-rata menghabiskan lebih dari tiga jam untuk berjejaring di media sosial[1]. Sebagai individu yang lahir di akhir 90-an, saya sendiri telah tergabung dengan jutaan orang itu hampir separuh hidup saya. Melalui media sosial, kita melihat momen teman dan kerabat melalui foto atau video yang mereka bagikan, mengetahui isi pikiran mereka melalui opini yang disampaikan, serta menjalin relasi dengan banyak orang baru. Tanpa disadari, kita telah menjadi bagian dari kehidupan maya banyak orang, begitu pula sebaliknya.

Ketika orang lain memiliki kesenangan dalam membagikan konten kehidupan mereka ke media sosial, saya tidak demikian. Foto, video, opini, bahkan profil yang saya tampilkan tidak cukup menarik jika dibandingkan dengan yang dibagikan oleh orang lain. Kehidupan mereka terlihat lebih menyenangkan dibandingkan dengan apa yang saya jalani setiap hari. Jumlah likes, followers, atau commentar yang mereka miliki lebih banyak, tidak sebanding dengan yang saya miliki. Saya merasa tidak cukup baik untuk menjadi bagian dari media sosial. Saya mulai menghapus konten yang telah saya bagikan, serta tidak lagi membagikan konten baru. Sampai hari ini, sudah lebih dari satu tahun saya tidak lagi membagikan konten apapun di Facebook, Instagram, atau Twitter.

Media sosial, khususnya Facebook dan Instagram terbukti telah memengaruhi rasa percaya diri individu dengan berbagai latar belakang. Masalah ini timbul karena individu mulai melakukan perbandingan sosial, dengan membandingkan diri dengan gambaran ideal yang ditampilkan oleh orang lain. Perbandingan yang dilakukan beragam, mulai dari gaya hidup, bentuk tubuh, lingkaran pertemanan, pencapaian hidup, sampai jumlah likes dan followers. Selain memengaruhi mood dan persepsi individu terhadap dirinya[2], perbandingan ini lama-kelamaan akan memengaruhi rasa percaya diri, bahkan kesejahteraan psikologis individu[3]. Selain itu, perbandingan yang dilakukan juga dapat menjadi salah satu faktor pemicu depresi[4].

Instagram sendiri telah menyadari bagaimana platform mereka ikut berkontribusi terhadap rendahnya rasa percaya diri, serta perasaan bahwa diri tidak cukup baik yang dialami oleh banyak orang. Pada Juli 2019, Instagram telah melakukan uji coba untuk menyembunyikan fitur likes di beberapa negara, seperti Kanada, Australia, Selandia Baru, Itali, Prancis, Brasil, dan Jepang. Melalui uji coba ini, mereka berharap para penggunanya tidak lagi merasa tertekan untuk mengejar jumlah likes, melainkan lebih fokus untuk membagikan hal-hal yang mereka sukai[5]. Tentunya menyembunyikan atau menghilangkan jumlah likes merupakan pendekatan yang menarikTetapi, apakah ’eksperimen’ tersebut dapat menjadi solusi agar kita tidak lagi membandingkan diri dengan kehidupan maya orang lain?   

Selama bertahun-tahun, media sosial telah menjadi sumber kecemasaan bagi banyak orang. Bagaimana kita menilai diri terkadang diukur dari jumlah likes atau followers, semakin besar jumlahnya, semakin kita merasa diakui oleh masyarakat maya. Pada akhirnya, menjadi diri sendiri tidak lagi cukup. Akan tetapi, ada keinginan untuk tidak lagi ingin menjadi bagian dari jutaan orang yang menghabiskan tiga jam setiap harinya di media sosial. Terlalu lama menghabiskan waktu di media sosial sudah terbukti tidak menyehatkan bagi kesejahteraan psikologis. Sekarang saatnya berproses untuk memaknai kembali media sosial, sembari menunggu hasil dari ‘eskperimen’ yang sudah dilakukan, akankah berhasil atau tidak?  

Disclaimer: Tulisan ini mewakili opini penulis dan tidak menggambarkan opini dan sikap Pusat Penelitian HIV Atma Jaya


[1] Kemp, S. (2019, January 31). Digital 2019: Indonesia – DataReportal – Global Digital Insights. Retrieved from https://datareportal.com/reports/digital-2019-indonesia

[2] Suls, J., Wheeler, L., & Collins, R. L. (2019). Social Comparison, Judgment, and Behavior. Oxford University Press.

[3] Schmuck, D., Karsay, K., Matthes, J., & Stevic, A. (2019). “Looking Up and Feeling Down”. The influence of mobile social networking site use on upward social comparison, self-esteem, and well-being of adult smartphone users. Telematics and Informatics, 42, 101240. doi: 10.1016/j.tele.2019.101240

[4] Lup, K., Trub, L., & Rosenthal, L. (2015). Instagram #Instasad?: Exploring Associations Among Instagram Use, Depressive Symptoms, Negative Social Comparison, and Strangers Followed. Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking, 18(5), 247–252. doi: 10.1089/cyber.2014.0560

[5] Instagram hides likes count in international test ‘to remove pressure’. (2019, July 18). Retrieved from https://www.bbc.com/news/world-49026935

Only available in Indonesian

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download

Memaknai Kembali Berjejaring Daring

Skip to content