Loss to follow-up (LFU) seringkali didengungkan sebagai masalah serius dalam program HIV nasional. LFU dapat terjadi pada tiap tahapan dalam kaskade perawatan dan pengobatan sejak seseorang terdiagnosis HIV.
Namun, apakah sebenarnya LFU itu? Bagaimana LFU dapat mempengaruhi program? Bagaimana meminimalisir LFU? Tulisan singkat ini mencoba untuk menjawab ketiga pertanyaan ini, dengan memusatkan perhatian pada tahapan sejak seorang dengan HIV (ODHIV) memulai pengobatan antiretroviral.
Tentang Loss-to-Follow up
Secara konseptual, LFU terjadi pada saat seorang pasien pengobatan mangkir dari kehadirannya di sebuah klinik dalam periode tertentu. Periode umum yang berlaku untuk pengobatan HIV biasanya 3 bulan. Jika pasien memiliki jadwal rutin pengambilan obat tiap bulannya, dan dia mangkir untuk datang ke klinik guna melanjutkan pengobatannya selama 3 bulan berturut-turut, maka pasien ini merupakan pasien LFU. Pasien ini menjadi ‘lepas pengamatan’ karena petugas klinik tidak mengetahui tentang pasien tersebut. Dalam kejadian pengobatan sebenarnya, pasien tersebut mungkin meninggal, pindah ke klinik lain, atau memutuskan menghentikan pengobatannya. Kejadian sebenarnya ini tidak diketahui petugas klinik selama 3 bulan sehingga pasien tersebut tercatat sebagai LFU.
Kondisi Loss-to-Follow up di Indonesia
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melansir angka LFU sebesar lebih dari 65 ribu kasus dari hampir 263 ribu ODHIV yang pernah menjalani pengobatan antiretroviral. Dengan demikian, kita tidak memiliki informasi apakah seperempat pasien pengobatan ini sudah meninggal, masih menjalani pengobatan di klinik yang berbeda, atau sedang menghentikan pengobatannya.
Jumlah LFU sebesar ini mengakibatkan tidak akuratnya jumlah pasien dan kematian semasa pengobatan antiretroviral yang sejatinya lebih tinggi dari laporan.
Selain itu, indikator performa program antiretroviral ini berpotensi mengalami double counting bila pasien LFU berpindah lokasi. Kemudian, pasien tercatat mengalami salah satu kejadian pengobatan di klinik barunya.
Menelusuri Data Loss-to-Follow up di Indonesia
Sayangnya, penelusuran pasien LFU tidak selalu membuahkan hasi yang sesuai harapan. Dalam sebuah kumpulan analisis di Afrika menyatakan bahwa, sepertiga dari pasien LFU tidak diketahui keberadaannya meskipun upaya pelacakan telah dikerahkan. Dari hasil pelacakan, 22% ternyata meninggal dan 23% menghentikan pengobatannya. Lalu, sejumlah 15% ternyata melanjutkan pengobatan di klinik lain.
Dalam konteks Indonesia, jumlah kematian semasa pengobatan antiretroviral akan ‘terkoreksi’ sebesar 14.300 kasus (i.e., 65 ribu x 22%), menjadi 74.300 kasus dari 60 ribu kematian yang terdokumentasikan saat ini. Upaya pencegahan dan penelusuran kasus LFU memainkan peranan yang vital dalam menjaga akurasi performa pengobatan antiretroviral.
Registrasi nasional akses pengobatan antiretroviral dengan data kependudukan dapat melacak perpindahan pasien secara otomatis dalam sistem informasi kesehatan yang terintegrasi. Akibatnya, angka LFU dapat ditekan. Hal yang perlu dicermati dari inisiatif ini adalah prasyarat identitas kependudukan yang masih menjadi tantangan bagi kelompok ODHIV yang termarjinalkan. Tantangan lainnya adalah skala implementasi yang melibatkan lebih dari 1.500 penyedia layanan perawatan dan pengobatan HIV di seluruh Indonesia.
Mencegah Loss-to-Follow up
Meningkatkan interaksi dengan pasien, terutama bagi mereka yang mulai mangkir dapat mencegah LFU. Penelusuran sesegera mungkin setelah kejadian mangkir pertama meningkatkan peluang mempertahankan ODHIV. Tenaga pendamping atau pendidik sebaya dalam layanan berbasis komunitas yang bekerja sama dengan penyedia layanan dapat memainkan peranan penting dalam penelusuran dini ini. Sebagai tambahan, ODHIV juga perlu memberikan persetujuan terhadap upaya penelusuran ini pada saat memulai pengobatannya, sehingga kaidah etika pemberian layanan yang menjunjung tinggi otonomi pasien tetap terjaga.
Akurasi performa program bersanding proporsional dengan besaran LFU. LFU mengindikasikan hambatan struktural (misal: tingginya volume pasien, jarak jauh ke layanan) atau individual (misal: efek samping pengobatan, pengobatan suboptimal untuk penyakit penyerta) pada tataran praktis yang belum tertangani secara memadai.
Penelusuran dini dengan pendokumentasian alasan mangkir dalam pengobatan antiretroviral akan memberikan perubahan menuju layanan pengobatan antiretroviral yang lebih baik di Indonesia.