Penerimaan status HIV, Stigma, dan Depresi

2020

Foto Hanya Ilustrasi.

HIV merupakan penyakit yang menakutkan dan dianggap belum ada obatnya. Padahal HIV merupakan suatu penyakit kronis yang memerlukan pengobatan rutin seperti penyakit darah tinggi atau diabetes. ART (Antiretroviral Therapy) merupakan suatu cara untuk memperpanjang hidup seseorang yang terinfeksi HIV dan mengubah HIV/AIDS dari suatu penyakit yang mengancam jiwa menjadi penyakit kronis. Meski sudah bertambahnya pemahaman kita mengenai HIV seperti cara penularan, perkembangan penyakit, dan perkembangan perawatan yang baik, namun masih banyak Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) baru yang sulit menerima statusnya. Salah satu penyebabnya adalah masih ada anggapan bahwa HIV adalah penyakit yang berbahaya, sehingga proses penerimaan status apalagi penerimaan pada pengobatan bukanlah hal yang sederhana.

Mengetahui bahwa diri sendiri mengalami penyakit kronis atau penyakit yang mengancam jiwa adalah suatu pengalaman yang menimbulkan trauma (Currie, 2019). Trauma ini akan memunculkan kondisi berduka yang membuat banyak orang yang baru mengetahui statusnya menjadi Depresi. Depresi merupakan hal yang cukup lazim ditemukan pada orang dengan HIV/AIDS(ODHA). Pasalnya, sekitar sepertiga dari ODHA menunjukkan bahwa mereka mungkin memiliki gangguan suasana hati (mood) atau gejala depresi klinis yang signifikan (Benton, 2008). Angka ini menunjukkan bahwa prevalensi Depresi ODHA dapat mencapai hingga 5 kali lipat jika dibandingkan dengan data rata-rata prevalensi depresi populasi umum di Indonesia yang menunjukkan 6,1% (Riskesdas, 2018). Masalah depresi ini murni disebabkan akibat mereka mengetahui status HIV-nya. Pada penelitian di Cina ditemukan bahwa dari 22 orang yang masuk ke kriteria Major Depressive Disorder (MDD), hanya satu orang yang sudah memiliki gejala tersebut sebelum mengetahui status HIV-nya (Jin et al, 2006).  

Masalah penerimaan diri yang menyebabkan depresi ini juga diperparah dengan stigma yang diterima oleh ODHA. Melalui penelitian pada remaja usia 15-19 tahun di Indonesia, ditemukan bahwa prevalensi remaja yang mempunyai stigma terhadap ODHA sebesar 71,63% (Situmeanga, Syarif, & Mahkota, 2017). Tidak hanya itu, pada penelitian di Jawa Tengah, ditemukan bahwa angka diskriminasi hampir mencapai 50%. Bentuk stigma di antaranya tidak bersedia makan makanan yang disediakan atau dijual oleh ODHA, tidak memperbolehkan anaknya bermain bersama dengan anak HIV, tidak mau menggunakan toilet bersama dengan ODHA, bahkan menolak untuk tinggal dekat dengan orang yang menunjukkan gejala HIV/AIDS. Masalah stigma ini menambah masalah konsep diri, penerimaan dan depresi pada ODHA.

Stigma pada ODHA makin diperparah ketika seseorang masuk pada kategori kelompok kunci. Contohnya, pada komunitas LSL mengalami stigma yang mengaitkan LSL dengan mempunyai HIV (Anand et al., 2017). Begitu juga kelompok pengguna napza suntik (penasun) yang mengalami stigma ganda sebagai pengguna narkoba dan ODHA. Pada semua kelompok kunci tersebut, terdapat ketakutan untuk memeriksakan diri ke tenaga kesehatan karena takut dikucilkan jika statusnya positif atau jika statusnya diketahui orang lain (Anand et al., 2017; Ardani & Handayani, 2017). Masalah ini menunjukkan konsep diri yang buruk dan merupakan self-stigma. Akibat stigma dari luar, ODHA melabel diri sendiri sebagai orang yang tidak disukai akibat statusnya sebagai penasun atau LSL yang juga terinfeksi HIV. Pandangan negatif pada diri sendiri tersebut membuat ODHA memiliki pemikiran negatif, sikap putus asa, depresi, dan perasaan tertekan (Sarikusuma, Hasanah, & Herani, 2012).  

Kombinasi dari sulitnya proses penerimaan diri dan stigma yang menyebabkan depresi ini juga menimbulkan keinginan bunuh diri pada ODHA. Penelitian di China menemukan bahwa ada 1 dari lima orang ODHA yang memiliki pemikiran bunuh diri aktif dalam 28 bulan sejak tahu statusnya (Jin et al, 2006). Mereka juga menemukan bahwa 50% ODHA pernah berpikir bunuh diri atau mencoba bunuh diri. Pada dampingan PKBI di DKI Jakarta, ditemukan bahwa 29.16% ODHA memiliki riwayat percobaan bunuh diri, dengan angka menyakiti diri hingga 43.18%. Dengan tingginya angka depresi dan percobaan bunuh diri pada ODHA, maka perlu adanya pertimbangan untuk mengatasi akar permasalahannya..

Intervensi yang sesuai untuk mengatasi kombinasi masalah antara penerimaan diri, stigma, dan depresi akibat status HIV perlu dipertimbangkan. Penanganan saat ini dengan slogan “temukan, obati dan pertahankan”, lebih berfokus pada pemberian pengetahuan dan dorongan untuk mengkonsumsi ARV. Konsumsi ARV dengan disiplin memang penting karena membuat ODHA dapat mempertahankan kesehatannya dengan menekan virus HIV. Walaupun demikian, konsumsi ARV tidak membantu mengatasi masalah depresi akibat HIV. Berbagai aspek seperti dukungan sosial, akses ke layanan psikologis, stigma, dan diskriminasi juga memiliki hubungan yang kuat dengan depresi (ND Shey et al., 2020; Desai et al., 2020). Layanan psikologis yang berkelanjutkan disarankan untuk membuat seseorang dapat menerima statusnya dan mengatasi depresi sehingga dapat mempertahankan pengobatan ARV (Safren, 2002). Saat ini, konseling VCT masih terbatas pada pertemuan sebelum pemeriksaan, saat pengambilan darah, dan setelah pembacaan hasil. Berarti dukungan untuk proses penerimaan diri pada status seseorang masih terbatas pada satu kali pertemuan saja. Padahal proses penerimaan status dan kondisi depresi yang menyertainya rata-rata bisa bertahan selama beberapa tahun (Currie, 2019). Maka dari itu, perlu adanya pertimbangan untuk konseling lanjutan yang mendukung dan mendampingi seseorang dalam penerimaan diri dan mengatasi stigma pada ODHA sehingga mereka dapat mengatasi dan mencegah masalah depresi yang mungkin lebih berbahaya bagi ODHA.

Disclaimer: Tulisan ini mewakili opini penulis dan tidak menggambarkan opini dan sikap Pusat Penelitian HIV Atma Jaya.

Daftar Pustaka

Anand, T., Nitpolprasert, C., Kerr, S. J., Kathryn, E., Promthong, S., Chomchey, N., … A, N. P. (2017). A qualitative study of Thai HIV-positive young men who have sex with men and transgender women demonstrates the need for eHealth interventions to optimize the HIV care continuum. AIDS Care0(0), 1–6. https://doi.org/10.1080/09540121.2017.1286288

Ardani, I., & Handayani, S. (2017). Stigma terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) sebagai Hambatan Pencarian Pengobatan: Studi Kasus pada Pecandu Narkoba Suntik di Jakarta. Buletin Penelitian Kesehatan45(2), 81–88. https://doi.org/10.22435/bpk.v45i2.6042.81-88

Benton, T. D. (2008). Depression and HIV/AIDS. Current Psychiatry Reports, 10(3), 280–285. doi:10.1007/s11920-008-0045-y 

Currie, N., 2020. Social Work And HIV: Exploring Grief In The Newly Diagnosed Client. [online] Thebodypro.com. Available at: <https://www.thebodypro.com/article/social-work-and-hiv-exploring-grief-in-the-newly-diagnosed-client> [Accessed 10 May 2020].

Desai, K. T., Patel, P. B., Verma, A., & Bansal, R. (2020). Environment and psychosocial factors are more important than clinical factors in determining quality of life of HIV-positive patients on antiretroviral therapy. Tropical Doctor, 004947552090818. doi:10.1177/0049475520908180 

Grossman, C. I., & Stangl, A. L. (2013). Editorial: Global action to reduce HIV stigma and discrimination. Journal of the International AIDS Society16(3 Suppl 2), 1–6. https://doi.org/10.7448/IAS.16.3.18881

JIN, H., HAMPTONATKINSON, J., YU, X., HEATON, R., SHI, C., MARCOTTE, T., … GRANT, I. (2006). Depression and suicidality in HIV/AIDS in China. Journal of Affective Disorders, 94(1-3), 269–275. doi:10.1016/j.jad.2006.04.013 

Riskesdas. 2018. Potret Sehat Indonesia. Jakarta: Riskesdas 2018

Safren, S. A., Radomsky, A. S., Otto, M. W., & Salomon, E. (2002). Predictors of Psychological Well-Being in a Diverse Sample of HIV-Positive Patients Receiving

Sarikusuma, H., Hasanah, N., & Herani, Fi. (2012). Konsep Diri Orang Dengan Hiv Dan Aids (Odha) Yang Menerima Label Negatif Dan Diskriminasi Dari Lingkungan Sosial. Psikologia : Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Psikologia7(1), 29–40. https://doi.org/10.32734/psikologia.v7i1.400

Shey, N. D., Dzemo, K. O., Siysi, V. V., Ekobo, A. S., & Jelil, N. A. (2020). Quality of life of HIV patients on highly active antiretroviral therapy: A scoping review. Journal of Public Health and Epidemiology12(1), 63-73.

Situmeanga, B., Syarif, S., & Mahkota, R. (2017). Hubungan Pengetahuan HIV / AIDS dengan Stigma terhadap Orang dengan HIV / AIDS di Kalangan Remaja 15-19 Tahun di Indonesia ( Analisis Data SDKI Tahun 2012 ) Relationship HIV / AIDS Knowledge related Stigma towards People Living with HIV / AIDS among Adole1(2), 35–43.

Only available in Indonesian

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download

Penerimaan status HIV, Stigma, dan Depresi

Skip to content