Jika kamu cukup mengikuti tulisan-tulisan yang dimuat pada website ini, tentu kamu menyadari atau mungkin masih mengingat jelas bila rekan-rekan peneliti maupun staf PUI-PT PPH PUK2IS UAJ pernah beberapa kali mengangkat tema kesehatan jiwa di masa pandemi. Meskipun setiap tulisan mengangkat sub-tema yang berbeda -misalnya saja kesehatan jiwa di masa pandemi dan kelompok marginal, kesehatan jiwa di masa pandemi dan pekerja, kesehatan jiwa di masa pandemi dan orang dengan HIV-, namun ada satu argumen atau opini yang selalu saja sama, memelihara kesehatan jiwa di masa pandemi jelas bukan hal yang mudah. Apalagi jika problematika memelihara kesehatan jiwa ini diiringi dengan kondisi khusus masing-masing individu atau kelompok, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dan juga kondisi khusus yang akan dibahas lebih jauh dalam artikel ini, perempuan (ibu) di masa kehamilan dan setelah melahirkan.
Di era penuh pembatasan jarak fisik di masa pandemi COVID-19 seperti sekarang, sistem dukungan yang biasanya mempromosikan kesehatan jiwa selama masa rentan transisi menjadi seorang ibu dari keluarga dan orang-orang terdekat sangat mungkin berkurang atau bahkan hilang. Hal ini membuat calon ibu lebih berisiko mengalami masalah kesehatan jiwa. Selain itu, terdapat pula sejumlah faktor yang berkontribusi pada peningkatan tingkat gangguan perasaan usai melahirkan selama pandemi, antara lain: Keharusan untuk tetap di rumah; Kebingungan kapan pandemi akan berakhir dan kapan kehidupan dapat kembali normal; Kekhawatiran akan tertular virus atau orang tersayang tertular; Memikirkan ulang harapan tentang pengalaman kelahiran dan keseharian setelah melahirkan di masa pandemi; dan lain sebagainya. Dengan demikian, tidak mengherankan bila perempuan di masa kehamilan dan usai kelahiran di era pandemi semakin rentan terhadap masalah kesehatan jiwa.
Berbicara tentang kesehatan jiwa ibu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, World Health Organization) telah mendefinisikannya sebagai,“keadaan sejahtera di mana seorang ibu menyadari kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan hidup yang normal, dapat bekerja secara produktif dan mampu untuk memberikan kontribusi kepada komunitasnya”. Perihal kesehatan jiwa seseorang di masa hamil dan usai melahirkan merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan, sebab kedua masa tersebut -hamil dan melahirkan- adalah peristiwa besar dalam siklus kehidupan. Bagi seorang ibu merupakan hal yang wajar ketika mengalami berbagai emosi selama kehamilan dan setelah melahirkan. Akan tetapi, jika gangguan suasana hati, pikiran, perasaan, dan perilaku mulai berdampak besar pada kegiatan sehari-hari, ia mungkin mengalami masalah kesehatan mental perinatal.
Pertanyaannya kemudian, apa saja masalah kesehatan jiwa yang umum terjadi selama dan setelah masa kehamilan?
Salah satu masalah kesehatan jiwa yang sering muncul kepermukaan ketika membicarakan momen setelah melahirkan adalah Baby Blues. Baby Blues sendiri adalah periode singkat suasana hati yang tidak baik, perasaan emosional, dan rasa ingin menangis selama sekitar 3 hingga 10 hari setelah melahirkan. Menurut artikel healthline.com, sekitar 80% ibu atau yang berarti 4 dari 5 ibu setelah melahirkan mengalami Baby Blues. Hal ini membuat Baby Blues menjadi salah satu masalah kesehatan jiwa yang cukup biasa dijumpai pada masa postpartum.
Akan tetapi, bukan hanya Baby Blues yang perlu diwaspadai dalam masalah kesehatan jiwa ibu selama masa kehamilan dan setelah melahirkan, kemungkinan terjadinya depresi usai kelahiran juga harus mendapatkan perhatian lebih. Depresi usai melahirkan yang mungkin dialami seorang ibu merupakan jenis depresi yang jauh lebih dalam dan berjangka panjang. Gangguan biasanya berkembang dalam enam minggu setelah melahirkan dan bisa bertahap atau terjadi secara tiba-tiba mulai dari gangguan yang bersifat ringan hingga sangat parah. Gejala yang sering dialami, antara lain sedih, kesal atau ingin menangis; gelisah atau mudah tersinggung; merasa bersalah, tidak berharga dan merendahkan diri sendiri; merasa kosong dan mati rasa; terisolasi dan tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain; merasa putus asa; merasa benci atau acuh tak acuh terhadap pasangan atau bayi; dan sebagainya.
Persoalan kesehatan jiwa pada ibu di masa hamil dan usai melahirkan kemudian bertambah rumit dengan kondisi sebagian ibu yang merasa sulit untuk berbicara mengenai keadaan kejiwaannya. Pasalnya, sebagian ibu merasa bahwa hamil dan melahirkan harusnya menjadi saat yang menyenangkan, padahal gangguan kesehatan jiwa sangat mungkin terjadi dan kondisi ini dapat didiagnosis serta diobati dengan segera. Jadi, sebenarnya seorang ibu di masa hamil dan usai melahirkan tidak perlu malu atau segan untuk membicarakan mengenai gangguan yang dialaminya.
Lalu, apa saja yang bisa kita lakukan ketika menghadapi kasus masalah kesehatan jiwa ibu di masa hamil dan pasca melahirkan?
Pentingnya memahami dan menyadari masalah kesehatan jiwa yang mungkin dialami seseorang di masa kehamilan dan pasca melahirkan telah mencetuskan peringatan “Maternal Mental Health Awareness Week” atau “Pekan Kesadaran Kesehatan Jiwa Maternal”. Pekan peringatan ini dilangsungkan setiap tanggal 3 hingga 9 Mei setiap tahunnya. Pekan Kesadaran Kesehatan Jiwa Maternal bertujuan sebagai momen pengingat pentingnya kesehatan jiwa pada ibu selama dan setelah masa kehamilan. Pekan ini juga didedikasikan untuk: Membicarakan dan meningkatkan kesadaran publik serta profesional tentang masalah kesehatan mental perinatal; Mengadvokasi perempuan yang terkena dampak masalah kesehatan mental perinatal; dan Mengubah sikap dan membantu keluarga untuk mengakses informasi, perawatan, dan dukungan yang dibutuhkan untuk pulih.
Walaupun demikian, diskursus tentang persoalan kesehatan jiwa maternal tentu tidak cukup bila hanya dibicarakan pada awal Mei saja. Setiap saat, kita perlu menyadari permasalahan ini dan menjadi bagian dari upaya peningkatan kesehatan jiwa pada ibu di masa kehamilan dan usai melahirkan.
Beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk membantu para ibu yang mengalami masalah kesehatan jiwa di masa kehamilan dan usai melahirkan, antara lain:
- Memberi dorongan secara positif untuk membicarakan tentang perasaan di masa hamil dan pasca melahirkan. Berusahalah untuk menjadi pendengar yang baik tanpa menghakimi.
- Tawarkan bantuan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga tanpa menunggu saat ia bertanya atau meminta bantuan.
- Memastikan si Ibu untuk meluangkan waktu untuk dirinya sendiri. Seperti untuk beristirahat atau relaksasi.
- Bagi pasangan atau partner, bersabarlah jika ia belum siap untuk berhubungan seks karena depresi dapat mempengaruhi dorongan seksual sehingga ia membutuhkan waktu.
- Mengajak pergi berjalan-jalan atau berolahraga ringan juga bisa membantu meningkatkan perasaan menyenangkan.
- Membantu mengingatkan untuk membatasi penggunaan media sosial untuk melihat lini masa terbaru dan mengakses berita-berita yang buruk seputar keadaan pandemi.
Refrensi:
Bradley, Sarah (2020, 7 May). What Are the Baby Blues and How Long Do They Last? https://www.healthline.com/health/baby-blues#takeaway
Kingston, Dawn (2020, 24 April). How to combat postpartum depression and anxiety during COVID-19. https://www.mother.ly/life/postpartum-depression-coronavirus
Marcin, Ashley (2020, 11 February). 7 Ways to Cope with Postpartum Depression. https://www.healthline.com/health/depression/how-to-deal-with-postpartum-depression#schedule-sleep
Olsson, Regan (2020, 9 July). Navigating Postpartum Depression During COVID-19. https://www.bannerhealth.com/healthcareblog/better-me/navigating-postpartum-depression-during-covid19
Smith, Melinda, Jeanne Segal (2020, September). https://www.helpguide.org/articles/depression/postpartum-depression-and-the-baby-blues.htm#
https://www.who.int/mental_health/prevention/suicide/Perinatal_depression_mmh_final.pdf
Disclaimer: Tulisan ini mewakili opini penulis dan tidak menggambarkan opini dan sikap Pusat Penelitian HIV Atma Jaya.