Refleksi untuk Kesejahteraan Kesehatan Jiwa

Tangkapan layar untuk acara Sharing Session tentang Refleksi untuk Kesejahteraan Kesehatan Jiwa oleh COP Kesehatan Jiwa Indonesia
Refleksi untuk Kesejahteraan Kesehatan Jiwa

Tahun 2021 adalah tahun kedua kita berada dalam kondisi pandemi. Berbagai perubahan untuk beradaptasi dengan pandemi telah dilakukan selama 12 bulan. Masyarakat terlihat sudah mulai beradaptasi hingga menerima realitas hidup pada masa pandemi. Memasuki tahun 2022, Community of Practice (COP) Kesehatan Jiwa mengawali awal tahun untuk merefleksikan peluang dan tantangan setahun ke belakang untuk menyambut tahun 2022 dengan penuh harapan. Sehingga pada tanggal 31 Januari 2022, COP Keswa mengadakan Sharing Session ke-14 COP Keswa sebagai tempat Refleksi Awal Tahun tentang Isu Kesehatan Jiwa. COP Keswa mengundang Anna Deasyana, Psikolog Klinis; Bagus Hargo Utomo dari Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia; dan Mona Sugianto dari Ad Familia. 

Konsultasi Daring untuk Layanan Kesehatan Jiwa

Cerita dari pelayanan konsultasi kesehatan jiwa di Puskesmas oleh Anna Deasyana menjadi pembuka untuk Sharing Session kali ini. Anna menceritakan perjalanan layanan psikologi selama pandemi di Puskesmas Kec. Mampang Prapatan. Perubahan utama pada tahun 2021 adalah masyarakat yang mulai terbiasa dengan layanan konsultasi daring. Anna menemukan dewasa muda berusia 18-35 tahun memenuhi daftar tunggu konsultasi daring terpusat melalui Sahabat Jiwa oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental membuat banyak orang ingin mengakses layanan konsultasi psikologi yang kini lebih mudah melalui daring. Harapan untuk tahun 2022 adalah pemerintah memberikan perhatian lebih terhadap kesejahteraan dan pemerataan tenaga medis pada layanan primer kesehatan, termasuk Puskesmas. Tenaga medis rawan burnout karena beban kerja yang berlebihan. 

Leason Learned Layanan Kesehatan Jiwa dari Pandemi

Mona Sugianto dari Ad Familia membagikan hasil refleksi untuk tahun 2021 ke dalam 4 poin leason learned dalam isu kesehatan jiwa. Pertama adalah perkembangan layanan kesehatan jiwa perlu mengikuti peningkatan kasus masalah dan gangguan kejiwaan. Peningkatan kasus memaksa layanan kesehatan jiwa untuk inovatif mengembangkan layanan. Kedua adalah potensi resiliensi dan peluang post traumatic growth pasca pandemi membentuk masyarakat yang lebih kuat menghadapi masalah kejiwaan dan gangguan jiwa. Ketiga adalah harapan dan dorongan untuk program kesehatan jiwa yang proaktif daripada reaktif. Program harus bersifat berkelanjutan dan siap untuk menghadapi bencana mental di masa depan. Terakhir adalah bagaimana cara menyebarkan belas kasih atau compassion untuk dapat menerima kenyataan bahwa keadaan akan selalu berubah.

Perhatian Terbatas untuk Orang dengan Gangguan Jiwa

Pembicara terakhir yaitu Bagus Hargo Utomo adalah perwakilan dari Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia. Bagus memberikan refleksi dari perspektif komunitas sebagai pendamping kelompok yang terdampak. Sayangnya, tantangan masih sama seperti tahun lalu dan tidak ada perubahan banyak yang membantu orang dengan gangguan jiwa menjalani perawatan rutin. Fluktuasi kasus Covid-19 memberikan rasa takut untuk pasien skizofrenia melakukan perawatan rutin. Kondisi pandemi memperburuk kondisi ekonomi pasein yang bergantung dengan BPJS. Tidak banyak perubahan yang membantu pasien skizofrenia beserta pendampingnya selama pandemi. Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia sudah mengadvokasikan sistem telemedisin untuk konsultasi, perawatan, dan jasa kirim obat untuk pasien skizofrenia. Indonesia memasuki pandemi, dan belum ada kebijakan serupa yang meringankan beban pasien skizofrenia mengakses layanan kesehatan. 

Kesehatan Jiwa bagi Remaja

Secara umum, topik diskusi membahas kondisi kesehatan mental pada remaja, serta puskesmas dan tenaga medis selama masa pandemi. Masalah kesehatan mental remaja pada masa pandemi menarik perhatian para orangtua dan tenaga pengajar. Mereka melihat perubahan perilaku pada remaja muda seiring dengan berjalannya kampanye tentang kesadaran kesehatan mental di Internet.

Berbagai terminologi psikologi seperti anxiety disorder, suicidal thought, bipolar disorder, hingga fresh graduate syndrom mengkhawatirkan kedua remaja dan orangtua. Anna dan Mona menjelaskan bahwa memperkenalkan coping mechanism adalah awal yang tepat untuk mengelola emosi.

Psikolog, psikiater, dan konselor harus pro-aktif memberikan pemahaman tentang bagaimana menghadapi gejolak emosi oleh para remaja yang kontekstual. Berkaitan dengan diagnosis, Anna memperkirakan adanya self-diagnose oleh remaja dengan mencocokkan gejala yang mereka derita dari Internet. Anna menemukan beberapa kasus serupa. Tenaga medis kesehatan jiwa perlu meningkatkan sensitivitasnya ketika seorang klien datang dengan diagnosis sendiri. 


COP Kesehatan Jiwa Indonesia adalah ruang berkumpul para pegiat isu kesehatan jiwa untuk berbagi informasi terkini tentang kesehatan jiwa di Indonesia. Bergabung di grup COP dengan kontal di media sosial kami.

satu Respon

  1. Bagus sekali, sebaiknya terus berkomunikasi dan berkoordinasi sehingga masalah lebih ringan diselesaikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Skip to content