Perkembangan Pengobatan COVID-19: Kontroversi dan Harapan terhadap Sains

2020

Foto Hanya Ilustrasi.

Lewat satu kuartal berselang sejak WHO mendeklarasikan coronavirus disease 2019 (COVID-19) sebagai pandemi, virus penyebab COVID-19, yaitu SARS-CoV-2, dilaporkan telah menginfeksi lebih dari 10 juta orang dan menyebabkan kematian pada lebih dari 500 ribu orang di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri angka infeksi telah medekati 60.000 dengan jumlah kematian hampir 3.000 orang per tanggal 3 Juli 2020.

Tidak kalah penting adalah laju pesat pemahaman kita mengenai penyakit ini, ditandai dengan maraknya publikasi ilmiah, sehingga proses pencarian obat dan vaksin yang efektif senantiasa mengalami perkembangan. Tulisan singkat ini merangkum perkembangan sains pengobatan COVID-19 untuk beberapa kandidat obat yang telah memiliki hasil penelitian, termasuk hiruk-pikuk yang menyelubunginya dan implikasinya.

Perkembangan pengobatan COVID-19

(Hydroxy)chloroquine: keputusasaan dan skandal akademik
Didier Raoult, ahli mikrobiologi Prancis, menggedor pintu dunia dengan klaim temuannya bahwa hydroxychloroquine (obat anti malaria), yang dikombinasikan dengan antibiotik azitromisin, memberikan angka kesembuhan COVID-19 setidaknya sebesar 80%. Hanya Didier Raoult dan komplotannya yang dapat meyakinkan dunia melalui pesona eksentriknya dan gerilya media sosial. Klaim ini dipublikasikan melalui Journal of Antimicrobial Agents (Elsevier) pada tanggal 17 Maret 2020.

Selang dua hari, Donald Trump mengumumkan dukungannya terhadap obat ini. Akibatnya, permintaan meningkat pesat dan otoritas kesehatan setempat akhirnya mengeluarkan izin terbatas penggunaannya. Seluruh dunia kemudian mulai meningkatkan stok obat ini dan memasukannya dalam panduan pengobatan, termasuk Indonesia. Hiruk-pikuk yang ditimbulkan sangat tidak proporsional bila melihat kenyataannya bahwa klaim kesembuhan tersebut didasarkan hanya pada data 38 pasien dengan desain studi yang amburadul.

22 Mei 2020 merupakan tanggal bersejarah bagi publikasi ilmiah dengan diterbitkannya hasil penelitian yang mengemukakan peningkatan risiko kematian pasien rawat inap COVID-19 karena penggunaan (hydroxy)chloroquine. Dipublikasikan dalam jurnal elit Lancet (Elsevier), hasil penelitian tersebut langsung menjadi pijakan bagi otoritas kesehatan untuk menghentikan sementara aktivitas uji klinis pengobatan COVID-19 di berbagai belahan dunia. Kualitas penelitian ini terkesan mumpuni, terlebih lagi dengan klaim data dari hampir 100.000 pasien yang dirawat di hampir 700 rumah sakit di enam benua!

Namun angka fantastis inilah yang menimbulkan kecurigaan: mengumpulkan data yang seragam dari beratus-ratus rumah sakit dan dalam waktu singkat bukanlah persoalan mudah. Dan ini semua dilakukan oleh sebuah firma kecil di Chicago bernama Surgisphere. Tidak lama berselang, sebanyak 148 peneliti menerbitkan surat terbuka yang mempertanyakan keabsahan hasil statistik artikel tersebut dan menuntut pengungkapan data agregat berdasarkan rumah sakit. Surat ini ditanggapi tim penulis hanya dengan koreksi terbatas. Investigasi lebih intens kemudian berkembang di berbagai forum internet. Artikel tersebut dinilai memiliki data yang luar biasa terperinci dan bahkan mampu memaparkan kelompok ras pasien (menanyakan ras pasien termasuk perbuatan ilegal di sejumlah negara).

Merasakan tekanan, editor Lancet menyatakan keraguan akan artikel tersebut dan memberitahukan adanya audit data yang tengah berlangsung. Upaya ini tidak berlangsung lama. Pada tanggal 4 Juni 2020, tiga dari empat penulis mencabut publikasinya setelah Surgisphere menolak audit data dengan alasan proteksi klien mereka, yaitu rumah sakit yang diklaim telah menyumbangkan datanya. Dugaan penggunaan data bodong semakin tidak terelakkan dan menjadi kesimpulan terpendam di benak publik.

Penggunaan (hydroxy)chlroroquine kembali dilanjutkan. Namun, skandal belum selesai. Data bodong yang sama ternyata digunakan untuk publikasi di sebuah jurnal elit lainnya, New England Journal of Medicine (NEJM), dan sebuah media pre-print (SSRN), masing-masing mengenai keamanan obat jantung dan efektivitas ivermectin (obat anti-parasit) bagi pasien COVID-19. Seperti artikel Lancet, kedua publikasi ini berujung pencabutan, tapi dampaknya sudah tak terbendung: ivermectin yang tersedia secara luas di Amerika Latin telah memperoleh rekomendasi penggunaannya untuk pengobatan COVID-19 di Bolivia, Peru, dan Kolombia.

Hasil RECOVERY Trial akhirnya dirilis dan menyimpulkan tidak adanya manfaat hydroxychloroquine dalam menurunkan tingkat kematian pasien rawat inap. Setelahnya menyusul Solidarity Trial, uji coba klinis internasional oleh WHO, yang turut menghentikan penggunaannya. Rekomendasi penghentian kemudian menggema dan telah diputuskan di sejumlah negara termasuk negeri jiran Malaysia. Untuk saat ini, bukti ilmiah pengobatan COVID-19 dengan (hydyroxy)chrloroquine mulai mengarah ke satu muara yang pasti.

Remdesivir: monopoli persediaan di tengah pandemi
Publikasi di NEJM mengenai remdesivir, di waktu yang bersamaan dengan artikel skandal di Lancet, disambut komunitas kesehatan dengan harapan dan sekaligus rasa cemas. Hasil penelitian ini mengemukakan bahwa obat antiviral untuk ebola ini mempercepat kesembuhan pasien rawat inap dengan gejala berat. Kecemasan timbul karena harga obat yang terbilang mahal (USD2.340 per terapi) sehingga hanya terjangkau oleh dan membuka peluang untuk monopoli pengobatan bagi negara-negara kaya. Amerika Serikat telah memborong hampir semua persediaannya sehingga negara lain tidak dapat memperoleh obat ini setidaknya sampai tiga bulan ke depan. Penimbunan ini ditengarai terkait dengan peningkatan kasus COVID-19 yang terus berlangsung di negara adidaya ini.

Dexamethasone: sepenggal harapan dalam pengobatan
Tim RECOVERY Trial melaporkan temuannya untuk dexamethasone (obat anti-peradangan) di tanggal 22 Juni 2020. Obat ini mengurangi kematian secara bermakna bagi pasien rawat inap yang membutuhkan bantuan oxigen. Temuan ini memberikan harapan akan adanya obat off-label lain dengan khasiat tinggi dan kemudahan aksesibilitas.

Lopinavir-ritonavir: antiviral harapan yang belum terbukti
Rilis hasil RECOVERY Trial untuk obat ini di tanggal 29 Juni 2020 menunjukkan minimnya khasiat obat HIV ini bagi pasien rawat inap. Belum diketahui apakah temuan ini akan berpengaruh terhadap uji coba penggunaannya yang dikombinasikan dengan interferon beta-1a (obat untuk sklerosis multipel).

Mengintip masa depan sains pengobatan COVID-19

Dunia sains sebagai pijakan untuk perubahan kebijakan dan praktik kesehatan berbasis bukti turut terdampak dalam masa pandemi ini. Proses tinjauan sejawat diduga mengalami pelunakan demi percepatan diseminasi pengetahuan yang krusial mengenai pengobatan COVID-19. Dua jurnal mashyur telah terdampak dari proses editorial dan tinjauan sejawat yang tergesa-gesa. Bukan tidak mungkin kejadian seperti ini juga terjadi di banyak jurnal lainnya, sehingga menimbukan rasa ketidakpercayaan terhadap otoritas sains.

Proses tinjauan sejawat merupakan ruh dari publikasi ilmiah agar karya yang akan diterbitkan mendapatkan kajian kelayakan yang menyeluruh. Tinjauan sejawat juga menjadi momok karena memerlukan waktu lama tanpa jaminan hasil; dan tahap ini harus dilewati setelah penyaringan ketat oleh editor. Setelah melewati kedua proses ini, tim penulis biasanya dihadapkan dengan biaya publikasi yang dibebankan penerbit agar bisa diakses gratis oleh publik. Maka sudah semestinya jurnal mempertahankan integritas editorialnya dan memiliki kualitas studi yang lebih tinggi dibandingkan dengan media pre-print seperti medRxiv atau bioRxiv, di mana semua persyaratan ini tidak berlaku. Penerbit seperti Elsevier, yang memegang hak publikasi Lancet dan Journal of Antimicrobial Agents, perlu berlaku adil dengan membenahi sistem editorial dan tinjauan sejawat yang berlaku, termasuk mengkaji kembali publikasi kontroversial Didier Raoult dan komplotannya yang tetap dibiarkan sampai saat ini.

Komunitas kesehatan tetap berupaya agar suatu karya ilmiah tetap mendapatkan ulasan yang memadai dan mempertahankan transparansi dalam penyajian bukti ilmiah. Yang pertama adalah apa yang disebut post-publication peer review. Ulasan ini membahas secara terbuka dan mengundang pendapat khalayak ahli untuk mengkritisi suatu karya ilmiah terpublikasikan karena indikasi keteledoran atau kecurangan. Media sosial dan berbagai forum internet khusus seperti PubPeer menjadi medan perang untuk memperjuangkan koreksi dari penulis karya ilmiah atas kesalahan yang ditemukan atau pencabutan publikasi. Bahkan karya ilmiah terdahulu salah satu penulis artikel Lancet menjadi objek investigasi di PubPeer setelah skandal data bodong terkuak. Inisiatif seperti ini menampar citra banyak perusahaan penerbit yang telah menggaungkan proses tinjauan sejawat yang mumpuni dan karenanya merasa pantas untuk memungut biaya publikasi.

Berikutnya, akurasi mengenai efektivitas dan ketepatgunaan dari sekian banyak kandidat obat COVID-19 menjadi isu penting. Kajian sistematik yang memberikan sintesis berkala dan termuktahirkan (living systematic review) terhadap efektivitas kandidat obat dengan mempertimbangkan keseluruhan bukti dari karya-karya ilmiah yang ada. Walaupun bukan barang baru, living systematic review dapat memberikan rekomendasi penggunaan obat yang tepat, cepat, dan transparan. Sebagai contoh, covid-nma (https://covid-nma.com) memantau ketat perkembangan penelitian pengobatan COVID-19 dan mengkaji hasilnya begitu tersedia guna pemuktahiran bukti efektivitas terkini.

Inisiatif-inisiatif semacam ini berupaya membasuh sains dari cemaran impuritas nafsu dan kepandiran. Perjalanan menuju pengobatan COVID-19 yang efektif telah sampai pada persimpangan di mana kita tahu bahwa penyakit ini dapat dan akan disembuhkan. Bukan tidak mungkin bila kelak obat seperti dexamethasome atau remdesivir akan tergantikan kedudukannya oleh yang lain dengan efektivitas lebih tinggi. Ketidakpastian adalah keniscayaan dalam situasi pandemi, yang menuntut para pembuat kebijakan untuk senantiasa mengadopsi perkembangan keilmuan pengobatan COVID-19 secara objektif. Peran sains hanya terbatas sebagai mesin penghasil pengetahuan, yang sayangnya belum tentu mau diketahui oleh para pembuat kebijakan.

Disclaimer: Tulisan ini mewakili opini penulis dan tidak menggambarkan opini dan sikap Pusat Penelitian HIV Atma Jaya.

Only available in Indonesian

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download

Perkembangan Pengobatan COVID-19: Kontroversi dan Harapan terhadap Sains

Skip to content