Warga Binaan Pemasyarakatan dan Pelayanan HIV AIDS di Dalam Lapas

Analisis terhadap kaskade perawatan dan pengobatan telah menjadi standar dalam mengevaluasi program pelayanan HIV. Agenda global bertajuk 90-90-90 pun rampung dirumuskan oleh UNAIDS. Targetnya adalah 90% ODHA mengetahui status HIV-nya atau terdiagnosis, 90% ODHA terdiagnosis memulai dan mempertahankan pengobatan antiretroviral, dan 90% ODHA yang menjalani pengobatan mengalami jumlah virus yang tak terdeteksi secara berkelanjutan. Akan tetapi, masih terdapat kesenjangan dari program pelaksanaan kaskade 90-90-90 yang terjadi berdasarkan kelompok sasaran. Salah satunya adalah tahanan, dan terutama narapidana.

Berdasarkan definisinya, tahanan dan narapidana adalah kelompok yang menjalani kehidupan dalam sistem pemasyarakatan dengan akses serta kualitas layanan sosial yang berbeda dengan masyarakat umum. Perbedaan tersebut menjadikan mereka termasuk dalam kelompok yang rentan terkena dampak kesenjangan dalam perawatan dan pengobatan HIV. Kumpulan riset internasional telah mendokumentasikan dampak buruk pemenjaraan pada kebersinambungan perawatan dan pengobatan HIV serta peningkatan risiko infeksi tuberkulosis[1]. Permasalahan ini tentu bukan tanpa jalan keluar. Pasalnya, melalui sejumlah penelitian lain diketahui bahwa Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) mempunyai peran penting untuk dapat mencakup kelompok risiko yang sulit dijangkau dalam alur perawatan dan pengobatan HIV yang berkesinambungan dalam masa tahanan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Caranya? Dengan mendapatkan penguatan dan memberikan informasi strategis untuk perencanaan intervensi yang diperlukan untuk mencapai tingkat cakupan program yang optimal.

Bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas), Pusat Penelitian HIV AIDS UNIKA Atma Jaya (PPH UAJ) melakukan kajian/penelitian kaskade perawatan dan pengobatan HIV dan AIDS bagi WBP sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas layanan kesehatan dalam Lapas. Tujuan praktis penelitian ini antara lain sebagai rekomendasi untuk memperkuat kebijakan Kementerian Hukum dan HAM yang mendukung pelaksaan perawatan HIV yang lebih luas dan berkelanjutan, dan upaya untuk mengatasi hambatan secara teknis yang dihadapi oleh tenaga kesehatan di Lembaga Pemasyarakatan dalam pelaksanaan perawatan HIV bagi warga binaan.

Pelaksanaan penelitian ini terbagi atas dua fase, pertama pada bulan Juli – Desember 2019 dan kedua pada Januari – Desember 2020. Pada fase pertama yang usai dirampungkan menghasilkan kajian tentang analisis kebijakan dan programatik perawatan HIV, penyajian retrospektif kaskade, penyajian hasil awal dari pelaksanaan kajian prospektif tentang perawatan HIV, dan rekomendasi bagi Ditjen Pemasyarakatan untuk memperkuat program perawatan HIV di Lapas. Sementara itu, fase kedua yang baru saja diawali merupakan kelanjutan dari proses pemantauan secara prospektif perawatan HIV telah dimulai pada tahun 2019. Di fase kedua ini nantinya akan dihasilkan analisis keseluruhan mengenai kajian perawatan HIV baik mencakup kajian programatik, kajian retrospektif dan prospektif serta rekomendasi berdasarkan hasil akhir kajian.


[1] Edge, CL, King, EJ, Dolan, K & McKee M. Prisoners co-infected with tuberculosis and HIV: a           systematic review. J Int AIDS Soc. 2016;19(1):20960. DOI:10.7448/IAS.19.1.20960.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Skip to content