Program PTRM diluncurkan secara resmi pada tahun 2006, dan pedoman nasional pelaksanaannya diatur dalam peraturan Kemenkes 494/Menkes/SK/VII/2006. Program PTRM diluncurkan mengingat gangguan adiksi memerlukan penanganan komprehensif, berproses, dan bersifat jangka panjang. Kemenkes mengeluarkan pedoman PTRM setelah bersama WHO melakukan uji coba di dua rumah sakit yaitu Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO), Jakarta dan Rumah Sakit Sanglah, Bali di tahun 2003. Hasil uji coba tersebut menunjukkan adanya perubahan perilaku di mana penasun yang mengikuti PTRM berhenti menggunakan obat (Utami et al., 2005). Penelitian lain tentang keuntungan PTRM menyebutkan bahwa penasun yang positif HIV dan mengikuti PTRM memiliki tingkat kepatuhan minum Antiretroviral (ARV) yang lebih baik dibandingkan mereka yang tidak ikut PTRM (Rapid Response Service, 2013; Spire et al., 2007).
Pelaksanaan PTRM di Indonesia belum maksimal dan telah didokumentasikan di beberapa penelitian. Salah satu kendala adalah pelaksanaan PTRM tidak selalu mengacu pada pedoman yang ada. Dalam pedoman dikatakan bahwa penasun yang mengakses PTRM diharapkan tidak mengakses layanan LASS karena mengakses LASS berarti masih menggunakan obat. Tetapi kenyataannya mereka yang ikut layanan PTRM juga mengakses LASS (Kemenkes, 2012; Sarasvita, 2009). Lebih lanjut penelitian di Jawa Barat menunjukkan bahwa 83% penasun yang ikut PTRM masih menyuntik. Bahkan pada saat terakhir menyuntik, 10% masih melakukan praktik menyuntik yang berisiko (Afriandi et al., 2010). Selain itu, masih terdapat perbedaan dalam praktik pemberian dosis yang dibawa pulang. Menurut pedoman, dosis yang dibawa pulang tidak dianjurkan pada 2 bulan pertama, tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian dosis bawa pulang dalam rentang waktu tersebut dapat membantu mengurangi angka drop out (Sarasvita, 2009). Angka drop out bagi yang mengikuti PTRM dilaporkan masih tinggi yaitu sekitar 40-50% (Kemenkes, 2013). Isu drop out juga terjadi pada penasun yang mengakses PTRM di RSKO, dalam rentang waktu 6 bulan ada 38% penasun yang drop out dari program (RSKO, 2005).
Berkaca dari hasil evaluasi sebelumnya dan melihat kebutuhan untuk mengoptimalkan pelaksanaan PTRM sebagai salah satu upaya pencegahan HIV pada kelompok pengguna napza suntik saat ini, maka pertanyaan operasional yang muncul adalah apa langkah strategis yang perlu dilakukan oleh klien atau penyedia layanan agar PTRM mampu secara lebih efektif dalam mengatur penggunaan napza, mencegah penularan HIV dan meningkatkan kualitas hidup pengguna napza suntik. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka Pusat Penelitian HIV dan AIDS Unika Atma Jaya berkerja sama dengan Kementerian Kesehatan RI telah melakukan sebuah penelitian operasional yang ditujukan untuk menemukan permasalahan strategis dalam pelaksanaan program yang menghambat PTRM untuk mencapai tujuan programnya dan mengujicobakan sebuah intervensi strategis yang diharapkan bisa menjawab permasalahan tersebut.