Search
Close this search box.

Pergulatan Kelompok Marjinal Menjaga Kewarasan di Tengah Pandemi

2020

Foto Hanya Ilustrasi.

“Pak, tarikan sepi ya?” / “Iya mbak, seharian baru dapet empat penumpang, jatah makan saya sama  anak istri  cuma dua kali sehari” / “Terpaksa narik ya. Tapi Pak Nur ga takut kena corona?” / “Saya lebih takut keluarga ga bisa makan, mbak. Di rumah saya malah ribut terus ama istri”

Pak Nur sehari-hari menafkahi keluarga dengan bekerja serabutan. Beliau melakoni pekerjaan buruh bangunan, narik becak, tukang kebun dan tawaran kerja apapun agar dapur  tetap ngebul. Cuplikan percakapan dengan Pak Nur  mencerminkan  wajah kelompok marjinal yang hidup dalam kondisi survival. Hidup dalam mode survival ini ibarat berdiri di tengah genangan air setinggi dagu yang sewaktu-waktu rawan kelelep jika diterpa riak. Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang lantang menggaungkan seruan #dirumahaja sebagai upaya percepatan penanganan COVID-19 menjadi hal yang absurd untuk dijalani oleh Pak Nur. Jangankan mau mengkhawatirkan kapan pandemi ini berakhir, membayangkan besok bisa makan apa saja sudah bagus.  Baginya, ketakutan akan kelaparan jauh lebih riil dan mencekam daripada virus corona.

Dilema #dirumahaja bagi Kelompok Marjinal

Berkebalikan dengan jalan-jalan arteri ibukota yang tampak lengang, situasi pinggiran kota tempat saya tinggal masih ramai dijumpai warga berlalu-lalang. Aktivitas keseharian warga sulit dijeda karena pemukiman ini disangga oleh warga yang mayoritas menggatungkan hidupnya pada sektor informal, seperti berdagang, narik becak, narik angkot, menjahit, dsb. Saya kemudian teringat minggu-minggu pertama himbauan #dirumahaja didengungkan, media sosial gonjang ganjing tentang video viral yang  menampilkan wawancara si empunya dengan beberapa orang yang tampak dari kelas bawah seperti penjaja gorengan dan tukang parkir yang memilih tetap beraktivitas karena tidak takut akan corona. Orang-orang dalam postingan itu kemudian dihujani klaim bodoh dan idiot oleh warga net karena tidak mengindahkan anjuran pemerintah. Hujatan tersebut cukup bisa dimengerti karena untuk memperlambat laju penyebaran virus dibutuhkan kerjasama seluruh masyarakat. Namun, perlu kita pahami kadangkala beberapa orang tidak punya pilihan lain.  Ketaatan  berdiam diri di rumah bukan lagi  soal takut atau tidak takut corona, melainkan soal privilese. 

Vivi Alatas –seorang mantan ekonom World Bank-  dalam diskusi daring terkait COVID-19 dan dampak ekonomi sosial bagi kelompok marjinal menerangkan bahwa kebijakan PSBB baru bisa sepenuhnya terlaksana apabila warga dibekali tiga hal, yakni tahu, mau dan mampu. Pertama, warga harus ‘tahu’ segala informasi mengenai cara penyebaran virus dan pencegahan virus corona. Dengan edukasi, warga diharapkan ‘mau’ mengikuti himbauan pemerintah untuk melakukan PSBB. Namun, persoalan ‘mampu’ tidak bisa didorong hanya dengan sosialisasi ataupun edukasi. Dibutuhkan upaya holistik dari pemerintah dan  masyarakat untuk memampukan kelompok marjinal  turut serta dalam menjalankan himbauan tersebut. Sejauh ini, pemerintah mengupayakan jaring pengaman sosial berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT)  senilai Rp 600.000/bulan yang akan disalurkan bagi keluarga miskin yang belum menerima bantuan sosial (bansos) lain seperti program keluarga harapan, bantuan pangan non tunai atau kartu pra kerja[1]

Lantas, apakah skema BLT cukup mujarab untuk memampukan kelompok marjinal menunaikan regulasi  PSBB? Membaca kelompok marjinal melalui kacamata ekonomi semata tentulah naif. Bermodalkan bansos ataupun tidak, pembatasan sosial dan karantina mandiri tetap sukar dilaksanakan mengingat sebagian besar kondisi hunian terbatas pada satu atau dua ruangan multifungsi dimana mereka harus berbagi privasi dengan anggota keluarga lainnya.  Bisa dibayangkan pertengkaran berujung kekerasan sangat mungkin terjadi karena tidak ada tembok pemisah yang menjeda keributan. Anak-anak pun dipaksa menyaksikan pertikaian karena tidak ada ruang bagi anggota keluarga untuk mengambil jarak.

Krisis kesehatan yang bergulir ke krisis ekonomi dan sosial menyalakan bara dalam sekam sebagaimana dikonfirmasi oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPAA) bahwa selama pemberlakuan PSBB,  terjadi 643 total kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak-anak[2]. Kondisi ini merefleksikan betapa peliknya permasalahan yang dihadapi oleh kelompok marjinal untuk bertahan hidup di masa pandemi. Bertahan di rumah dihadapkan pada ancaman kelaparan dan potensi cek-cok berujung Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), memilih tetap bekerja juga tak menjanjikan hasil ditambah resiko tertular virus corona dan menularkan keluarga. Efek domino dari ketimpangan dan tekanan yang berlipat ganda ini dapat bermuara pada keterpurukan kondisi kesehatan mental kelompok marjinal.

Proteksi Psikologis Bagi Kelompok Marjinal

Masalah krisis kesehatan mental menjadi perhatian dunia sebagai uprising disease selama pandemi. Hal ini lumrah melihat tingginya financial distress yang menghantam sebanyak 1,7 juta pekerja formal dirumahkan dan  749,4 ribu pekerja formal di PHK.[3] Selain itu, perubahan rutinitas secara drastis juga patut disoroti, peralihan interaksi tatap muka menjadi termediasi teknologi, dan perubahan mobilitas tinggi  menjadi berdiam di rumah. Dari sibuk lantas diam, hiruk pikuk dunia beralih ke pikiran. Gangguan stress, kecemasan, psikosomatis, depresi mengintai masyarakat.  Meskipun krisis kesehatan mental dan emosional  dialami hampir seluruh lapisan masyarakat, namun kelompok marjinal berpotensi merasakan dampak psikis lebih intens dari populasi lainnya. Termasuk di dalamnya perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan domestik di masa pandemi.

Merespon krisis kesehatan mental ini,  pemerintah telah meluncurkan  layanan sehat jiwa (Sejiwa) pada 29 April 2020. Disampaikan oleh Menteri PPPA, Bintang Puspayoga,  kehadiran layanan sejiwa mengakomodir kekhawatiran masyarakat mengenai berbagai polemik di tengah pandemi Covid 19 khususnya pendampingan psikososial bagi perempuan dan anak yang menjadi korban KDRT, perempuan pekerja migran, perempuan disabilitas serta anak yang memerlukan perlindungan[4]. Mekanisme layanan psikososial dilakukan melalui hotline 119 ext.8 atau melalui web browser http://bit.ly/kamitetapada.

Langkah pemerintah ini perlu mendapat apresiasi karena cukup responsif mengatasi krisis kesehatan mental masyarakat. Dengan menjaga mental tetap sehat, imunitas tubuh naik dan berpeluang meredusi risiko terkena virus. Namun, masih ada tugas yang belum terpecahkan yakni persoalan akses layanan sejiwa bagi kelompok marjinal yang berada dalam kemiskinan.  Hak akan kesehatan fisik maupun psikis seharusnya diperoleh secara merata oleh seluruh masyarakat Indonesia, bukan privelese kelas tertentu. Untuk dapat mengakses Sejiwa, setidaknya diperlukan alat komunikasi handphone dengan pulsa dan kuota internet yang tidak ramah kelas bawah. Sedangkan secara kultural, masih rendahnya keterpaparan informasi kelompok marjinal tentang kesehatan mental juga berpengaruh pada masih rendahnya prioritas  mereka untuk mau mengakses layanan psikososial. Selama ini, simpul antara kelompok marjinal dan akses kesehatan diperantarai oleh puskesmas. Tentu ini menjadi tantangan bagaimana fasilitas kesehatan maupun tenaga kesehatan menjangkau dan memantau kesehatan fisik dan psikis dari  kelompok marjinal di tengah pandemi yang mensyaratkan pembatasan sosial. Hal ini adalah masalah besar yang perlu ditangani oleh pemerintah secara cepat khususnya proteksi ekonomi dan kesehatan bagi mereka yang marjinal di tengah pandemi. Mengapa responsivitas terhadap pergulatan kelompok marjinal sangat dibutuhkan saat ini? Karena kunci untuk bisa memutus rantai penyebaran virus adalah kesadaran kolektif bahwa kita hanya bisa selamat dengan menyelamatkan orang lain.

Disclaimer: Tulisan ini mewakili opini penulis dan tidak menggambarkan opini dan sikap Pusat Penelitian HIV Atma Jaya.


[1] nasional.kompas.com/read/2020/04/07/13523071/jokowi-beri-blt-rp-600000-per-keluarga-ini-syaratnya

[2] https://mediaindonesia.com/read/detail/308723-ratusan-kekerasan-terjadi-selama-pandemi-covid-19

[3] https://katadata.co.id/infografik/2020/04/18/wabah-phk-akibat-covid-19

[4] https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2655/layanan-psikologi-sejiwa-hadir-sebagai-wadah-aduan-bagi-perempuan-dan-anak-terdampak-covid-19

Only available in Indonesian

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Publikasi Terkait

Download

Pergulatan Kelompok Marjinal Menjaga Kewarasan di Tengah Pandemi

Skip to content