Ringkasan Kebijakan dari Analisis Situasional Aborsi di Indonesia.
Apa yang bisa pemerintah lakukan untuk mengurangi kejadian aborsi tidak aman?
PPH UAJ bersama Knowledge Hub dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia melakukan analisis putusan pengadilan terkait aborsi untuk memahami implikasi dari peraturan aborsi di Indonesia. Kami melakukan analisis pada 160 putusan pidana yang tersedia di laman Mahkamah Agung dari tahun 2017 hingga 2021.
Melalui pengumpulan data tersebut, analisis kami menemukan bahwa terdapat kebutuhan atas layanan aborsi yang aman untuk perempuan. Kegawatdaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan menjadi batasan tindakan aborsi. Hal ini sangat membatasi perempuan yang membutuhkan layanan aborsi dengan kondisi lain yang sama gentingnya dengan kegawatdarutatan medis. Kondisi seperti kehamilan tidak direncanakan oleh perempuan menjadi faktor utama. Salah satunya adalah aspek ekonomi seperti ketidaksiapan finansial untuk membesarkan anak dan risiko kehilangan pekerjaan menjadi pertimbangan besar melakukan aborsi.
Gambaran singkat tindakan aborsi di Indonesia
Terbatasnya akses layanan aborsi menyebabkan sejumlah kriminalisasi perempuan yang melakukan aborsi. Hukum yang punitif tentang aborsi ini telah menyebabkan perempuan sebagai korban yang paling banyak mengalami kriminalisasi dan pemenjaraan. Dalam berbagai putusan, tampak dasar hukum pemenjaraan perempuan ini tidak konsisten, antara menggunakan KUHP, UU Perlindungan Anak, dan UU Kesehatan.
Sayangnya, kriminalisasi tidak menghentikan perempuan mencari layanan aborsi. Studi ini menunjukkan beberapa pola pencarian layanan aborsi oleh perempuan. Keempat pola ini tentu berisiko untuk perempuan. Selain ancaman kriminalisasi, keselamatan fisik juga ancaman jika prosedur aborsi tidak berjalan dengan baik.
Walaupun terdapat ancaman kriminalisasi dan kesehatan fisik yang besar, Indonesia memiliki kebutuhan layanan aborsi. Tindakan aborsi merupakan puncak gunung es dari beberapa masalah yang tumpang tindih, seperti kesehatan seksual dan reproduksi, ketidakadilan penegakkan hukum, kapasitas profesional tenaga kesehatan, dan stigma layanan aborsi. Namun, kita bisa memulai dengan mengurangi risiko aborsi tidak aman.